“Adventure in life is good; consistency in coffee even better. (Justina Chen)”
Matahari belum tinggi saat mobil kami membelah jalanan Belitung yang rapih dan bersih. Sebelum menjelajah pantai di Belitung Selatan, kami memutuskan untuk singgah di kedai kopi paling otentik di Belitung yaitu kedai kopi Kong Djie. Terletak di jalan Siburik Barat Tanjung Pandan depan Gereja Regina Pacis, kedai kopi ini sudah berdiri sejak 1943. Mungkin ini bukan kedai pertama yang ada di Belitung tetapi setidaknya kedai kopi yang masih mempertahankan keotentikannya selama 75 tahun.
Bangunan kedai kopi Kong Djie tampak tradisional, sederhana dan kecil. Mungkin hanya bisa menampung sekitar 50 pengunjung baik di bagian luar kedai maupun di dalam kedai. Karena bagian luar penuh, kami memutuskan mencari tempat duduk di bagian dalam satu meja dengan warga lokal yang ngopi pagi sambil bercengkerama. Berbagai lapisan masyarakat berbaur dalam aroma kopi dan candaan yang hangat. Sambil menunggu dua cangkir kopi susu pesanan yang merupakan favorit di kedai ini, kamipun terlibat obrolan dengan warga lokal. Menurut mereka, masyarakat Belitung selalu mengawali dan mengakhiri hari-harinya dengan segelas kopi. Pagi sebelum beraktivitas mereka menyulut semangat dengan segelas kopi dan malam sepulang aktivitas juga melepas penat dengan segelas kopi. Kedai Kong Djie buka mulai pukul 5 pagi hingga 4 sore.
Tak lama pesanan kopi susu kami datang. Sebenarnya tak hanya kopi susu yang laris dipesan di kedai ini, namun juga kopi O dan kopi hitam. Saya menyesap kopi perlahan dan merasakan nikmatnya kopi susu yang lembut. Memakai campuran kopi Arabika dan Robusta serta resep rahasia peninggalan keluarga, kopi ini dimasak dalam tungku arang supaya aromanya keluar. Agar kopi tidak terbau apek, air yang digunakan untuk menyeduh harus benar-benar mendidih. Ada tiga ceret yang digunakan untuk memasak kopi ini, satu berukuran paling tinggi dan dua yang lain berukuran setengahnya. Ketiga ceret ini dahulu terbuat dari tembaga, namun sekarang sudah dimodifikasi menggunakan bahan aluminium. Perubahan bahan ceret ini tidak akan mengubah kenikmatan rasa kopi yang dihasilkan. Tak hanya menjual kopi, kedai Kon Djie juga menyediakan makanan kecil seperti donat, pastel, gorengan dan telur ayam setengah matang.
Duduk di dalam kedai kopi yang sudah berumur 75 tahun dan dipertahankan keotentikannya, membuat saya melamunkan masa tahun 1943. Saat itu Indonesia belum merdeka dan masih dalam penjajahan Jepang. Menurut pemiliknya yang merupakan generasi penerus kedai kopi Kong Djie, keluarganya yang bermarga Ho, Tionghoa terpaksa menyeberang dari Bangka ke Belitung karena kelaparan pada masa penjajahan Jepang. Mereka kemudian mendirikan kedai kopi Kong Djie. Kata Kong Djie sendiri berasal dari bahasa Hakka (bahasa yang dituturkan oleh orang Hakka di pegunungan Guangdong, Tiongkok), Kong artinya terang, sementara Djie adalah nama untuk anak kedua. Kedai ini memiliki beberapa cabang dengan mengadopsi sistem franchise yang hanya meminjam brand sementara bahan baku diambil dari Kong Djie. Di franchise ini pula, Kong Djie menempatkan satu peracik kopi yang telah menguasai racikan kopi mereka. Karena tidak ada perkebunan kopi di Belitung kedai kopi Kong Djie terpaksa mengambil pasokan kopi dari pulau Jawa dan Sumatera.
Segelas kopi susu di cangkir kami telah tandas dan warga lokal yang menemani kami telah berangkat beraktivitas. Tapi saya enggan meninggalkan kehangatan kedai kopi ini. Saya bisa merasakan perjuangan masa lalu yang hebat, tradisi yang mengikatnya dan sejarah yang terbentuk selama 75 tahun di kedai ini. Mungkin benar kata-kata yang pernah saya baca, Tuhan menciptakan kopi agar kita bisa berteman, bercengkerama, tertawa dan saling memahami. Dan itu semua saya temukan di kedai kopi Kong Djie.
noted, saya juga suka ngopi mba 🙂
makasih niaaaa