1060 views 6 mins 0 comments

JOGJA, PANDEMI YANG MENGENDAPKAN RINDU

Setelah dua tahun saya tidak keluar kota, saya memutuskan untuk mengunjungi Yogjakarta begitu kondisi membaik. Dengan memantau pergerakan kasus yang semakin hari semakin mengecil, saya memberanikan diri memesan tiket kereta. Kenapa ke Jogja? Ya, saya tidak tahu lagi tempat yang paling saya rindukan selain Jogja. Benar memang, ada satu kalimat yang mengatakan bahwa Jogja itu terbuat dari angkringan dan rindu. Begitu juga saya, tidak kuat menahan rindu begitu lama saat tidak bisa mengunjungi Jogja. Tidak ada kejadian istimewa sebelumnya yang membuat saya menjadi seperti itu, tetapi sepertinya Jogja memang memikat hati banyak orang. Bahkan ada harapan kecil di hati saya, untuk bisa menghabiskan hari tua di Jogja.

 

 

Baiklah, kejauhan mengkhayalnya. Singkat cerita, akhirnya saya memesan tiket kereta ekonomi ke Jogja. Seorang teman nyeletuk, pasti kamu kangen duduk tegak di kereta ekonomi, ya? Pasti kamu ingin mengulang kegilaan masa lalu ya? Padahal kereta ekonomi zaman sekarang itu sudah bagus lho! Dan saya enjoy menikmati perjalanannya. Penumpang kereta menjaga prokes dengan baik dan kereta juga bersih. Saya memesan penginapan tidak jauh dari stasiun kereta sehingga dengan mudah saya menjangkau tempat itu untuk istirahat setelah delapan jam perjalanan dari Jakarta.

 

Pandemi belum berakhir, sehingga saya memutuskan untuk menjaga prokes dengan ketat. Begitu memasuki kamar hotel saya melepas semua pakaian dan menyingkirkan ke dalam tas tersendiri lalu mandi keramas dengan banyak sabun. Setelah merasa bersih, saya memesan makanan secara online agar tidak keluar kamar lagi. Begitu makanan datang saya makan lalu istirahat.  Saya tidak mau kecapekan.

Lalu baru esok harinya saya melihat-lihat Jogja. Entah mengapa, saya merasa kota ini menjadi lesu dan tidak bergairah. Sepertinya pandemi telah mengubah segalanya. Jalanan yang terasa sepi dan orang-orang yang terlihat tidak bersemangat. Bahkan saat saya menyusuri pinggiran alun-alun utara, saya merasa tidak di Jogja. Saya masih menghindari keramaian sehingga memutuskan untuk ke Gunung Kidul. Tujuan pertama saya adalah  Desa Wisata Nglangeran. Menurut saya berwisata ke alam masih lebih aman ketimbang berada di antara banyak orang. Sopir yang mengantar saya juga antigen lebih dahulu sehingga saya merasa lebih tenang.

Bagaimanapun lesunya di dalam kota, begitu tiba di Gunung Kidul saya terpesona. Desa Wisata Nglangeran ini menurut berita yang saya baca banyak meraih penghargaan sebagai desa wisata terbaik. Ada wisata alam, geologi, sejarah, dan kuliner di sini. Sebenarnya saya ingin mengunjungi puncak Gunung Api Purba yang menjadi ikon desa wisata Nglangeran dan sudah diakui UNESCO sebagai situs Geopark Global Gunung Sewu. Tetapi saya tidak menyiapkan fisik dan perbekalan untuk hiking. Akhirnya saya hanya bisa menikmati pemandangan gunung itu dari bawah. Padahal jika sampai puncak, kita bisa menikmati pemandangan Gunung Kidul dari ketinggian.

Jangan sedih dulu, jika tidak siap hiking sampai atas, kita masih bisa menikmati ketinggian dari waduk Embung Nglangeran. Danau buatan ini jernih dan berada di ketinggian. Pecinta lokasi instagramable pasti suka berada di sini. Saya tidak begitu suka segala sesuatu yang dibuat manusia dengan sengaja, tapi tempat ini sangat indah apalagi saat melihat tempat yang jauh dari ketinggian. Sangat rekomended.

Setelah dari Nglangeran yang baru kali ini saya kunjungi, saya menuju tempat lain yang juga baru sekali itu saya kunjungi. Yaitu, situs Warungboto. Beberapa waktu lalu, situs ini ngehits karena putri Presiden foto prewedding di sini. Begitu melihat dari sisi jalan saya yakin itu tempatnya. Tetapi sopir online mengatakan itu kuburan. Ya memang, situs Warungboto berdekatan dengan kuburan, tetapi jangan salah masuk karena ada petunjuk yang jelas.

Seorang bapak paruh baya sedang membersihkan bagian depan situs saat saya memasuki halaman situs Warungboto. Dan Pak Sugiyono mengatakan bahwa situs belum buka karena pandemic. Tetapi saya diizinkan mengambil foto-foto dari luar. Baiklah, tidak masalah. Situs ini dari depan tampak memiliki tiga bagian. Dua samping kiri dan kanan kemudian bagian tengah yang paling besar. Bagian kanan merupakan restorasi dari bangunan lama yang sudah runtuh. Menurut Pak Sugiyono, bangunan ini berhubungan dengan Taman Sari. Kalau Taman Sari merupakan tempat para putri, sementara Warungboto merupakan pesanggrahan raja. Memang arsitektur bangunannya sangat mirip dengan Taman Sari. Saya hanya bisa melihat-lihat dari luar sehingga tidak bisa mengenali bagian dalamnya.

Baru malam harinya saya mengunjungi Malioboro dan nongkrong di depan Malioboro Mall. Tetapi entah mengapa, aku merasa kota ini menjadi sedih karena hantaman pandemic. Bahkan saat duduk menikmati malam, Malioboro juga terasa mati. Orang-orang berjalan melewati Malioboro dengan semangat yang hanya sisa. Bisa jadi itu hanya aura yang saya tangkap sendiri, mungkin orang lain tidak merasakannya. Tetapi bagaimanapun, ketika saya meninggalkan Jogja, hati saya masih tertinggal di sana. Selalu ada janji untuk kembali. Ke Jogja suatu hari nanti. Dan memang, janjiku selalu kutepati untuk menumpahkan segala rindu yang mengendap.

Avatar
Writer / Published posts: 109

Writer, Traveller and Dreamer

Twitter
Facebook
Youtube
Flickr
Instagram