“Amsterdam is like the rings of a tree: It gets older as you get closer to the center.” – John Green
Setelah dua jam perjalanan menggunakan pesawat Easy Jet dari Praha, sampailah saya di Bandara Schiphol Belanda. Ini adalah negara terakhir yang saya kunjungi setelah 6 negara Eropa lainnya dalam rangkaian saya backpacker satu bulan.
Belanda merupakan satu-satunya negara Eropa yang secara psikologis membuat saya merasa nyaman dan betah. Mungkin karena di negara ini saya dengan mudah menemukan orang Indonesia, makanan Indonesia dan warga lokal yang lumayan ramah. Namun harga penginapan di kota ini paling mahal dan paling sulit dicari dibandingkan dengan 6 negara Eropa lainnya. Bahkan kami terpaksa menginap di Amstelveen yaitu kota pinggiran Amsterdam untuk mendapatkan harga yang sesuai dengan kantong.
Dan mulailah penjelajahan kami di Amsterdam. Dari Amstelveen, kami harus naik tram sekitar 45 menit untuk sampai kota Amsterdam. Hari cukup terik dan saya memiliki beberapa tujuan yang ingin saya kunjungi. Pertama mencari makanan halal dan murah, kedua mengunjungi Rijksmuseum, ketiga menyusuri kanal-kanal Amsterdam dan keempat pada malam harinya saya ingin melihat Red Light District. Perkiraan saya, sampai tengah malam saya akan menghabiskan waktu menjelajahi pusat kota Amsterdam.
Setelah tujuan pertama yaitu makan di tempat halal dan murah terpenuhi, saya segera melanjutkan ke tujuan kedua yaitu Rijkmuseum. Tetapi ketika melewati kanal-kanal menuju Rijkmuseum mendadak kami bertemu rombongan suporter bola yang berjalan beriringin, meneriakkan yel-yel dan semakin lama semakin banyak. Pada saat itu menjelang final liga Eropa Ajax vs MU 2017 yang pertandingannya sendiri berada di Stockholm Sweden.
Namun keramaian para supporter Ajax yang nonton bareng di pusat kota Amsterdam itu luar biasa. Sebelumnya saya yang memang kurang paham bola mengira pertandingan berada di stadion sekitar pusat kota sehingga orang-orang bergerak bersamaan menuju stadion. Ternyata saya salah. Tak hanya nonton bareng di tempat terbuka, banyak kafe-kafe yang juga menjadi tempat berkumpul untuk nonton bola. Jalan menjadi begitu penuh dan tidak nyaman, apalagi seorang teman perjalanan saya sempat hilang dalam kerumunan supporter. Saya kemudian memutuskan untuk menunggu suasana lebih tenang dengan memasuki salah satu mall kecil untuk memesan kopi sambil menunggu teman yang hilang kembali.
Sekitar 15 menit saya menikmati kopi, sms peringatan masuk ke hp dan berbahasa Belanda. Mendadak saya ketakutan berada di tempat riuh dan asing seperti itu. Saya mulai panik mengingat beberapa hari sebelumnya rangkaian bom meledak di Inggris lalu halte Kampung Melayu Jakarta. Karena saya tidak paham bahasa Belanda, seorang cowok Belanda menjelaskan bahwa itu peringatan sebaiknya saya segera kembali ke rumah. Semakin malam, biasanya dalam pesta bola seperti itu banyak orang mabuk dan bisa saja terjadi keributan. Maka setelah teman saya yang hilang kembali, kami memutuskan untuk kembali ke hotel.
Begitu keluar mall kecil itu, kami segera disambut rombongan-rombongan supporter yang semakin banyak dan semakin gaduh. Satu jam menunggu di halte tram akhirnya kami sadar bahwa semua tram yang menuju dan keluar kota Amsterdam dihentikan. Kepanikan mulai terjadi bagaimana kami harus kembali ke hotel, sedangkan untuk naik mobil online juga tidak memungkinkan. Tapi seorang wanita Asia yang baru pulang bekerja mengajak kami jalan bersama menuju stasiun lain yang cukup jauh tetapi masih dilewati tram menuju Amstelveen. Seorang warga lokal yang kebetulan bersama kami menuju stasiun menertawakan kami yang liburan tapi terjebak di tengah-tengah supporter bola. “It’s wonderful, huh!?” katanya sambil tertawa.
Dan semua tujuan yang ingin kami kunjungi hari itu gagal karena terjebak di tengah supporter bola. Tapi besoknya kami masih punya waktu untuk kembali menjelajahi Rijkmuseum, kanal-kanal tua Amsterdam dan Red Light District. Saya akan ceritakan di tulisan selanjutnya. Amsterdam, kota itu membuat saya ingin kembali dan tinggal lebih lama.