Seorang gadis tiba-tiba bunuh diri dan meninggalkan pesan berupa kaset kepada teman-teman di sekelilingnya. Hannah Baker, begitu nama gadis itu, tidak menunjukkan bahwa dia seorang yang menderita penyakit mental apapun. Hannah seorang gadis yang cantik, terlihat ceria dan berusaha bergaul dengan siapa saja. Tetapi diam-diam dia menyimpan kekecewaan yang dalam terhadap lingkungannya ; teman-teman sekolahnya yang saling membully dan tidak tulus, guru-gurunya yang tidak tanggap terhadap masalah-masalah anak didiknya dan orang tuanya yang egois. Kaset yang ditinggalkan itu membuka rahasia penyebab ia bunuh diri mulai dari orang-orang terdekatnya yang dia anggap tidak peduli pada perasaannya hingga puncak dari segalanya ia diperkosa teman sekolahnya pada suatu malam dan mendorongnya untuk mengakhiri hidupnya. Tanpa kaset-kaset itu, tidak ada seorangpun yang tahu penyebab Hannah bunuh diri.
Orang-orang seperti Hannah banyak di sekeliling kita. Apalagi sebagian besar lingkungan kita menganggap remeh orang-orang yang sakit secara batin. Sebagian dari kita hanya peduli saat orang lain sakit secara fisik. Padahal sakit secara batin itu efeknya sangat besar dan bisa menimbulkan sakit-sakit fisik. Saya jadi ingat dalam satu wawancara televisi seorang cowok yang menderita depresi begitu lama mengalami kecelakaan. Kesan pertama yang dia terima dari orang-orang di sekelilingnya saat ia mengalami depresi banyak orang menertawakannya dan tidak memercayainya, sementara saat ia mengalami kecelakaan banyak yang menjenguk dan peduli. Ya, sebagian kita memang masih begitu, menganggap depresi adalah bentuk tidak kompetennya seseorang menghadapi terpaan badai hidup, tidak becusnya orang tersebut melihat sisi terang dari apa yang dia hadapi, merespon sesuatu terlalu dramatis dan berlebihan hingga ada pula yang membandingkan dengan orang lain yang kemungkinan penderitaannya lebih parah namun sanggup melewati itu.
“Tidak ada segala sesuatu yang berjalan sesuai maumu,” kata seorang teman suatu ketika saat saya menceritakan bahwa saya mengalami depresi. Saya juga pernah mengalami depresi meski levelnya tidak berat. Trauma masa kecil, rentetan pengkhianatan yang pahit dan tekanan hidup yang berat membuat saya jatuh ke liang depresi. Ada satu masa saya tidak bisa makan dalam seminggu dan hanya bisa minum air. Ada satu masa saya terbangun pagi hari dengan kondisi yang letih luar biasa. Ada satu masa dimana saya berkubang dalam kesedihan yang dalam tanpa sebab. Ada satu masa dimana saya tidak bisa menangis untuk mengekpresikan kepedihan yang dalam. Efeknya secara fisik kemana-mana, sakit lambung, paru-paru, ginjal bahkan tidak bisa berjalan. Tapi semua itu sudah berlalu. Sejak saya menemukan diri saya sendiri dan hidup membebaskan diri sesuai kata hati, saya perlahan sembuh. Itu butuh perjuangan bertahun-tahun, bahkan bantuan psikolog untuk menunjukkan petanya kemana saya akan berjalan. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Dengan semua itu saya tidak pernah meremehkan siapapun yang datang pada saya dan mengaku depresi. Saya selalu menyediakan dua telinga untuk mendengar mereka tanpa memvonis apapun. Karena saya tahu rasanya, saya tahu penderitaannya.
Bukan hanya dalam sebuah serial, banyak contoh di dunia nyata yang bisa kita lihat secara gamblang. Robin Williams, actor komedi yang periang dan selalu tampil menghibur dalam film-filmnya itu memutuskan bunuh diri karena depresi akut, halusinasi dan penyakit degenerative. Tetapi beberapa berita mengatakan ia memutuskan butuh diri karena merasa tidak lucu lagi. Dalam kacamata orang lain yang tidak peka pasti akan bilang “masa hanya karena tidak lucu lantas bunuh diri?” Lalu kita lupa melihat masalah dari sudut pandangnya. Kita sibuk membandingkannya dengan orang lain yang mungkin kelihatan lebih menderita tetapi sanggup melewati segalanya. Hey, kamu orang-orang yang suka meremehkan depresi dan penderitaan batin orang lain! Kita paham semua manusia memiliki masalahnya masing-masing. Tapi ingat setiap manusia memiliki proses yang berbeda menghadapi masalah. Kita tidak bisa menggeneralisir semua manusia sama sehingga kita jatuh pada penghakiman bahwa “kamu nggak kompeten, kamu cemen dan kamu memalukan!” Bisa jadi orang yang memutuskan mengakhiri hidupnya ini sudah begitu lama bertarung menghadapi depresi, berjuang melawan tekanan-tekanan sampai kemudian ia merasa tidak mampu lagi. Atau bisa jadi orang itu telah datang padamu memohon kedua telingamu mendengarkan penderitaannya tetapi kamu justru memvonisnya tidak kompeten menghadapi hidup. Dan kamu menjadi salah satu teman Hannah Baker yang menyebabkan ia bunuh diri. Mau jadi orang seperti itu?
Mungkin sekaranglah waktunya kita memulai untuk peka terhadap sakit batin orang lain di sekeliling kita. Jika memiliki kedua telinga untuk mendengar, dengarkan mereka. Jika bisa membantu, bantulah mereka menemui psikolog atau psikiater. Jangan memvonis mereka saat mereka berkubang dalam depresi. Kita tidak pernah tahu, kata-kata kita yang bagian mana yang begitu menyakitkan sehingga justru memperburuk kondisinya. Kalau kita tidak punya hal yang baik untuk diberikan lebih baik diam. Jangan sampai kita mendorong ia melakukan hal yang lebih buruk dalam hidupnya. Mari kita mulai peduli pada orang-orang di sekeliling kita dan tidak menggeneralisir mereka. Setiap orang melewati proses yang berbeda dalam garis perjalanan hidupnya. Ingat itu!
*feature pic by ngopulse.org