1107 views 6 mins 0 comments

MENJENGUK MASA LALU.

Memories warm you up from the inside. But they also tear you apart” ~ Haruki Murakami

Lebaran ini saya pulang ke kampung masa kecil saya setelah 4 lebaran sebelumnya saya lewatkan di tempat lain. Terletak di pesisir Laut Selatan, sebenarnya  kampung masa kecil saya ini  sudah menjadi kota. Jalanan mulus, gang-gang yang sudah dicor rapi, rumah-rumah yang berdiri bagus dengan sanitasi yang memadai dan terdapat ruang publik untuk hiburan masyarakat . Jika saat saya kecil dulu jalanan depan rumah hanya dilewati kerbau yang mau ke sawah, sekarang menjadi jalur utama yang sangat ramai.  Motor yang pengendaranya tanpa helm ngebut bak balapan di sirkuit, mobil yang lalu lalang memasuki gang, pemuda-pemuda tanggung berambut stylis dengan cat merah, pirang, ungu di puncaknya, gadis-gadis ber-make-up lengkap dengan gaya fashioanable dan tak ketinggalan makanan-makanan kota seperti burger, sosis, fried chicken dijual di sini. Tidak bisa dihindari, kampung masa kecil saya telah lenyap dan berubah menjadi kota.

 

Bagi saya, pulang ke tempat ini adalah menjenguk masa lalu. Masa lalu yang menjadikan saya seperti sekarang. Seandainya rumah tidak bisa rusak, kami sekeluarga lebih suka membiarkan bangunan lama tetap berdiri tanpa polesan sesuatu yang baru, agar kami bisa sama-sama mengais kenangan ; makan bersama di wajan bekas memasak ikan kecap, tidur di tikar pandan, menggoreng satu telur dibagi banyak orang, membaca buku berulang-ulang karena buku waktu saya kecil sangat langka, meminta Bu Guru membuka perpustakaan agar saya dapat membaca buku lain, berebut wafer di kaleng Kong Guan dan melihat orang berjalan di hutan yang jauh dari kamar kami.

Tidak hanya kenangan-kenangan bersifat fisik yang saya kais dari masa lalu saya di tempat ini, tapi juga pemikiran-pemikiran saya di masa kecil.  Saya dibesarkan oleh ibu yang suka membaca dan menginginkan anak-anaknya lebih maju. Meski pendidikan ibu hanya tamat SMP, tetapi dari bacaannya yang banyak, beliau bisa memandang lebih luas ketimbang orang-orang di sekelilingnya. Dan begitulah saya dibesarkan. Di tengah banyak luka perjalanan hidup keluarga saya, saya dididik menjadi perempuan mandiri dan tidak hanya bercita-cita untuk menikah. Memasuki usia SMP saya haus bacaan dan informasi sementara akses bacaan dan informasi sangat sulit. Kami tidak memiliki televisi dan antena radio jarang bisa sampai. Maka saya mengirim surat-surat ke berbagai penjuru Indonesia melalui kolom sahabat pena yang ada di majalah remaja yang dipinjamkan ibu untuk saya. Dari surat-surat itulah saya bertukar pikiran dengan banyak teman di banyak tempat di Indonesia dan bercita-cita suatu ketika saya akan pergi lebih jauh untuk bertemu mereka. Ketika teman-teman seusia saya mulai puber dan sibuk pacaran, saya haus informasi dan jatuh cinta pada buku.

 

Masa remaja saya menjadi sedikit beda dengan teman-teman saya. Jika teman-teman memandang saya sebagai pendiam, sebenarnya pikiran saya bergolak. Saya sedikit pemberontak, antimainstrem dan benci feodalisme.  Ketika orang di sekitar saya bangga bergaul dengan pejabat serta nepotisme, saya membenci sikap-sikap itu. Bergaul bisa dengan siapa saja asal itu menyenangkan dan bermanfaat, tidak perduli siapapun dia. Saya juga berpikir bahwa cita-cita tidak harus menjadi PNS (kamu bisa menjadi apa saja, asalkan bisa memaksimalkan potensi dirimu), perempuan tidak hanya bertugas menikah dan beranak pinak, perempuan harus bisa dipandang karena kepandaiannya bukan hanya karena fisiknya yang menawan dan perempuan tidak harus berkulit putih agar tidak dicaci maki.  Saya tidak mampu mengungkapkan pikiran-pikiran saya yang bergolak itu melalui ucapan kecuali melalui sedikit tulisan saya dan menerapkan dalam kehidupan saya sendiri.

Melihat kehidupan teman-teman saya, saya seringkali merasa kehidupan saya berhenti. “Saya hanya begini-begini saja, sementara orang lain sudah berjalan jauh.” Tetapi kenyataannya hidup ini terus berjalan dan berubah.  Setiap mengais kenangan di tempat ini, saya melihat saya banyak berubah ; cara pandang saya, cara saya menghadapi masalah dan memperlakukan orang lain. Tetapi perubahan itu tidak menjauh dari pemikiran-pemikiran saya di masa kecil dan remaja. Jika dulu saya tersiksa dengan lingkungan yang memvonis saya, sekarang saya bisa memahami bahwa cara pandang saya memang berbeda dengan mereka sehingga mereka mungkin sulit menerima cara pandang saya. Maka saya sekarang bisa tersenyum menghadapi cara pandang mereka terhadap saya.

 

Ada perasaan senang sekaligus sedih melihat tempat masa kecil saya ini menjadi kota.  Saya kehilangan hal-hal eksotis yang dulu saya miliki di tempat ini, tetapi itu tidak bisa ditolak lagi. Semua tempat cepat atau lambat telah menjadi kota. Serbuan budaya kota mengalir deras melalui internet tanpa batas. Semua trend yang ada di kota dengan mudah diadopsi semua orang di manapun lokasinya asal terjangkau signal. Semoga yang terserap hal-hal yang baik dan bermanfaat yang akan merangsang pemikiran-pemikiran untuk lebih maju, bukan malah mundur.

Namun, jika semua tempat telah menjadi kota, semoga saya masih bisa menyimpan barang-barang masa lalu di tempat ini untuk mengais kenangan. Agar saya tidak lupa dari mana pemikiran-pemikiran berbeda saya pada masa kini berasal.  Saya akan menjenguknya selama umur masih ada.

 

 

Avatar
Writer / Published posts: 109

Writer, Traveller and Dreamer

Twitter
Facebook
Youtube
Flickr
Instagram