“You can’t buy happiness, but you can buy coffee, which is pretty close.”
Senja mengambang di jendela dapur rumah Aurora saat saya membuka kulkas untuk mengambil air es. Sudah pukul 9 malam tapi matahari turun begitu pelan. Aurora, si pemilik rumah sedang pergi liburan bersama putrinya dan mengijinkan kami memakai seluruh ruangan rumahnya, sementara teman perjalanan saya sedang berburu tiket opera. Saya punya waktu sendirian di depan jendela membayangkan pertemuan Jesse dan Celine sebelum menjelajahi Vienna berdua dalam film Before Sunrise.
Mengunjungi Vienna bagi penggemar film Before Sunrise artinya menjelajahi lokasi shooting Jesse dan Celine, salah satunya Kleines Cafe. Tidak hanya karena romantisme film Before Sunrise jika esok harinya saya mengunjungi Kleines Cafe, tapi pada tahun 2011, “Viennese Coffee House Culture” masuk dalam daftar “Intangible Cultural Heritage” (warisan budaya non-benda) dari Unesco. Selain sebagai kota musik yang tenar di seluruh dunia, kedai-kedai kopi (Wiener Kaffeehaus) memiliki peranan penting yang membentuk kekayaan budaya di Vienna.
Menurut informasi dari seorang teman Austria, kedai-kedai kopi di Vienna menjadi tempat pertemuan dan berdiskusi para musisi, penulis dan berbagai jenis kalangan untuk saling mengungkapkan ide bahkan mengkritisi karya. Di antara aroma kopi, deru mesin espresso dan hilir mudik pengunjung kedai kopi, mereka melahirkan ide-ide hebat.
Saya menemukan lokasi Kleines Cafe setelah tersesat di gang-gang sempit yang artistik. Terletak di Franziskanerplatz 3, cafe ini kecil dan terkesan sederhana. Hanya terdapat 4 meja di ruangan dalam, sebuah meja bar dan selebihnya di luar kafe. Saya memutuskan masuk ke bagian dalam kafe karena di luar telah penuh. Seorang lelaki tua pelayan kafe, menyambut ramah dan mempersilakan kami duduk. Beberapa pengunjung sibuk dengan kegiatan masing-masing ; membaca koran, mengetik di laptop, bahkan ada yang sedang menulis musik. Pelayan kafe menyodorkan kami daftar menu. Selain menu breakfast dan lunch, ada beberapa jenis kopi seperti Kleiner Brauner (kopi espresso dengan cream), Verlangerter Verkehrt (kopi latte) dan coklat panas. Saya memilih kopi latte yang lembut dan sepotong kue yang tidak terlalu manis.
Kedai kopi pertama didirikan di Vienna pada tahun 1685. Tetapi sempat mengalami kelesuan pada tahun 1950-an ketika orang-orang lebih memilih menonton televisi di rumah ketimbang bertemu di kedai kopi. Tapi kemudian kedai-kedai kopi ini hidup lagi dan berjaya hingga saat ini. Di beberapa kedai yang masih klasik, biasanya pengunjung dihibur oleh iringan piano dan disuguhi makanan khas Vienna.
Beberapa jam duduk di Kleines Cafe, saya membayangkan romantisme Jesse dan Celine di Before Sunrise. Kedai kopi tua bergaya bohemian ini tak hanya menghadirkan romantisme yang memikat tapi juga bisa memunculkan ide-ide menarik di kepala. Pelayan tua-nya yang ramah dan membawa dompet wanita berwarna merah berisi uang logam kembalian, pengunjungnya yang tenang dan tidak berisik serta keakraban mereka yang ngobrol di tenda luar kedai. Setelah kafein di gelas terkuras, ide-ide liar itu akan bermunculan di kepala membuat orang-orang kreatif tak ingin meninggalkan kedai kopi ini lebih cepat. Seandainya masih ada waktu saya ingin berlama-lama di sini, sayangnya saya harus segera kembali. Kleines cafe menyisakan kenangan buat orang-orang yang bertualang dengan ide.