“I truly believe the only way we can create global peace is through not only educating our minds, but our hearts and our souls.” – Malala Yousafzai
Tepat pukul 2 sore, kereta yang saya tumpangi selama 7 jam dari Gare De Lyon, Paris tiba di stasiun Geneva, Swiss. Pemandangan alam yang menakjubkan di luar jendela kereta sepanjang perjalanan membuat kepenatan saya menguap berganti semangat menjelajahi kota baru. Ini negara ke tiga yang saya kunjungi dalam perjalanan saya keliling Eropa setelah Inggris dan Perancis. Selesai melewati pemeriksaan di pintu keluar, kami tiba di lobby stasiun. Bingung menentukan arah menuju hostel, kami keluar stasiun dan berjalan menuju jalan besar. Ternyata salah, kami nyasar! Seorang wanita lokal menunjukkan arah kemana kami harus berjalan menuju hostel. Ternyata jalan itu ada di seberang stasiun. Terpaksa kami masuk lagi ke stasiun dan mengambil jalan sebaliknya.
Setelah menyeret koper sekitar 2 kilometer, sampailah kami di hostel. Terletak di depan salah satu kantor polisi, Hostel Geneva tampak tua dan halamannya kotor. Tapi ketika kami memasukinya, bayangan horor di benak saya segera menguap. Bagian dalam hostel memiliki desain modern dan warna-warni yang cukup menarik. Kami memilihnya karena ini satu-satunya hostel paling murah yang sesuai bujet kantong kami. Kamar kami terletak di lantai 4 tanpa lift. Kami menggotong koper dan ngos-ngosan masuk ke dalam kamar. Ada 12 bed khusus female di kamar itu dan kami langsung merebahkan tubuh untuk istirahat sejenak. Satu orang cewek Tiongkok sudah berada di dalam kamar, tidur mendengkur.
Jika kita tinggal di Hostel, kita akan mendapat kartu transportasi gratis untuk naik berbagai moda transportasi di Geneva. Ini sangat menguntungkan karena One Day Pass untuk transportasi saja harganya sekitar 26 CHF atau sekitar Rp. 350.000. Menjelang sore kami kelaparan dan mencari tempat makan halal. Agak susah menemukannya, tetapi di seberang jalan ada restoran Turki dan kami masuk ke sana. Dengan harga sepiring makanan sekitar Rp. 400.000, kami hanya memesan satu piring dan memakannya bersama-sama. Selebihnya untuk mengganjal perut kami membeli pisang dan kue-kue yang lebih murah di supermarket. Swiss memang terkenal mahal dan bagi kami baru memasuki negara ini beberapa jam sudah langsung jatuh miskin.
THE GENEVA WATER FOUNTAIN & OLD TOWN
Tujuan utama kami ke Geneva sebenarnya untuk mengunjungi kantor PBB, tetapi karena sudah terlalu sore kami memutuskan untuk menyusuri tepi Danau Geneva. Di danau ini ada The Geneva Water Fountain atau Jet d’eau de Geneve. Air mancur dengan kecepatan 200 km/jam ini sangat terkenal dan menjadi salah satu tujuan wisawatan. Pada hari Senin- Kamis dibuka pada jam 10 pagi sampai matahari terbenam. Sementara pada Sabtu- Minggu dibuka pda jam 10 pagi sampi 10.30 malam. Banyak orang berjalan menyusuri sepanjang sisi danau, jogging atau duduk bersantai di depan danau. Di ujung Danau tampak kerumunan orang-orang berpesta minuman sepulang kerja. Saya meluangkan waktu sejenak duduk menikmati suasana di tepi danau sambil memandangi bebek-bebek liar yang berenang.
Menjelang matahari terbenam kami berjalan menuju kota tua. Sebenarnya kaki sudah gempor, tetapi karena rasa ingin tahu yang besar kami terus menyusuri jalan sepanjang sisi kota. Tampak bangunan-bangunan tua yang megah berdiri gagah dan masih terawat dengan baik. Orang-orang bercengkerama di kafe-kafe tetapi sebagian toko sudah mulai tutup. Jam menunjukkan pukul 8 malam ketika kami tersesat diantara bangunan tua untuk mencari makan malam. Meskipun langit masih terang, suasananya seperti di Indonesia tengah malam. Bahkan ketika kami menemukan Mc Donald dan memutuskan makan disana, suasana benar-benar telah sepi. Tepat pukul 9 malam kami kembali ke hotel menggunakan tram.
THE PALAIS DES NATIONS
Banyak organisasi internasional yang berkantor di Geneva, salah satunya PBB. Sebagai markas besar kedua setelah markas besar di New York yang mengurusi bidang politik dan pertahanan, kantor PBB di Geneva mengurusi bidang sosial dan kemanusiaan. Untuk sampai Palais Des Nations kami naik tram sekali dari hostel. Orang lokal Geneva sangat ramah dan murah senyum. Ketika saya ngantuk dan tertidur di tram, seorang ibu membangunkan saya dan mengatakan bahwa tram telah sampai tujuan terakhir di halte Nations. Turun dari tram saya melihat monumen Broken Chair atau kursi patah di areal luas di seberang pintu masuk kantor PBB. Monumen kursi patah itu sebagai simbol perlawanan terhadap penggunakan ranjau darat pada masa Perang Dunia I dan II yang memakan banyak korban. Tepat di halaman depan tampak bendera-bendera negara anggota PBB, salah satunya Indonesia. Tetapi pintu masuk pengunjung ternyata bukan melalui pintu depan ini, sehingga kami harus berjalan melingkar untuk menemukan pintu masuk lainnya sekitar 500 meter dari pintu depan.
Untuk masuk ke dalam gedung PBB, kami harus mengikuti tour resmi yang diselenggarakan UN dengan membeli tiket seharga 12 CHF atau sekitar Rp. 160.000. Hanya ada dua tour setiap hari yaitu jam 10 -12 siang dan jam 14 – 16 sore. Kami menunggu jadwal pembelian tiket jam 14 dibuka dengan duduk lesehan di depan gedung. Banyak remaja-remaja tour group dari berbagai negara menunggu antrian. Dan tepat pukul 2 sore pintu dibuka dan kami masuk satu persatu. Setelah pemeriksaan keamanan, passport dan pembelian tiket di bagian depan, kami mendapatkan name tag yang tertulis nama kami dan diantar guide menuju gedung yang lain. Di lobby gedung ini kami menunggu lagi peserta lain berkumpul untuk kemudian dipandu seorang guide yang akan mengantar kami berkeliling.
Setelah menjelaskan sepintas sejarah gedung PBB di Geneva, guide yang humoris itu membawa kami memasuki ruangan demi ruangan. Ruangan pertama adalah salah satu ruang konferensi dari 34 ruangan lain yang serupa di dalam gedung ini. Ruangan ini berkapasitas hingga 700 orang yang dilengkapi berbagai fasilitas konferensi kelas dunia. Mereka juga menyediakan terjemahan audio maupun visual ke dalam berbagai bahasa.
Ruangan kedua yang kami kunjungi adalah Assembly Hall yang terletak di gedung A lantai 3. Ruangan ini salah satu ruangan tertua yang menampung hampir 2000 peserta konferensi. Ruangan ini merupakan ruangan penting dan mengadakan pertemuan di bulan September sampai Desember untuk membahas anggaran PBB, membentuk beberapa anak organisasi PBB dan memilih anggota tidak permanen Dewan Keamanan.
Ruangan ketiga yang kami kunjungi adalah The Human Right and Alliance of Civilizations Room yang digunakan oleh United Nations Human Rights Council. Ruangan ini sangat menarik karena memiliki langit-langit yang dilukis yang merupakan karya seni kontemporer seorang perupa Spanyol Miquel Barcelo. Lukisan warna-warni ini menggambarkan keanekaragaman budaya di dunia yang meskipun berbeda tetap menyuarakan keseteraan hak asasi manusia di seluruh dunia.
Tidak banyak ruangan yang bisa kami masuki karena sebagain besar ruangan itu sedang dipergunakan untuk konferensi.
Sebelum mengakhiri tour, saya menyempatkan diri membeli kartu pos UN yang ada di lobby gedung dan melihat-lihat souvenir UN yang harganya mahal sehingga saya memutuskan tidak membeli satupun. Hari menjelang sore saat kami menyusuri taman depan UN dan meninggalkan areal Palais Des Nations. Tampak di seberang jalan markas Palang Merah Internasional berdiri gagah.
Geneva memang kota yang mahal, namun juga sangat menarik. Selain di sana menjadi markas besar berbagai organisasi dunia, penduduk lokal juga ramah dan penolong. Ketika meninggalkan Geneva pada pagi harinya untuk melanjutkan perjalanan ke Austria, saya mengingat peristiwa akbar pada masa lalu. Presiden pertama kita, Ir. Soekarno pernah memutuskan pergi dari organisasi supremasi dunia PBB ini. Presiden Soekarno bersama Presiden India (Jawaharlal Nehru), Presiden Mesir (Gamal Abdel Nasser), Presiden Pakistan (Mohammad Ali Jinnah), Birma (U Nu) dan Presiden Yogoslavia ( Josip Broz Tito) mengadakan Konferensi Asia Afrika yang menghasilkan Gerakan Non Blok. Gerakan ini membuat negara-negara Asia Afrika memperoleh kemerdekaan hingga menjadi anggota PBB. Saat ini masih banyak tragedi kemanusiaan di luar sana yang belum terselesaikan dan membuat hati kita teriris setiap membaca berita.
Semoga kemegahan gedung PBB yang saya lihat tidak hanya berdiri angkuh tetapi juga mampu menyelesaikan setiap konflik, mencegah terjadinya perang dan bisa menjalankan fungsinya secara adil sehingga benar-benar mampu mewujudkan perdamaian dunia.
Uugh sungguh mahal yaa makananannya. Tapi danaunya cantik yaa membayangkan berjalan di tepiannya 😍