Mendengar kata Bantargebang, ingatan saya melayang pada unggahan sebuah foto oleh actor Hollywood yang juga aktivis lingkungan, Leonardo Dicaprio, di akun resmi instagramnya pada 6 September 2019. Dalam foto karya Adam Dean tersebut tampak seorang pemulung sedang memungut sampah di Bantargebang. Unggahan ini menimbulkan reaksi netizen Indonesia yang kebanyakan merasa malu. Salah satunya, “bangga menjadi orang Indonesia. Kita suka membeli apapun dengan bungkus plastik.”
Sampah memang menjadi masalah klasik yang belum juga ditemukan solusi terbaiknya di ibukota dari tahun ke tahun. Itu juga yang membuat saya tertarik mengunjungi Bantargebang. Pada bulan Maret 2022, tepat pukul 10 pagi, saya tiba di pintu gerbang Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Saya masuk lewat belakang kelurahan Sumur Batu.
Gunungan sampah yang tinggi seolah melambaikan tangan ketika ban mobil saya terperosok ke dalam lumpur. Dua orang pemuda mengenakan kaos hitam lengan panjang, topi rimba kusam dan sepatu boot plastik membantu saya keluar dari kubangan lumpur. Setelah mobil terparkir aman, saya melewati lorong kecil di depan rumah-rumah bedeng berdinding triplek yang dihuni pemulung Bantargebang. Beberapa pria dan wanita sedang duduk sambil mengobrol santai. Saya turun ke jalan utama yang dilewati truk-truk pengangkut sampah dan perlahan menyusuri jalan itu.
Ketika mendongak ke atas, tampak gunungan sampah dan para pemulung sedang bekerja. Mereka mengenakan baju panjang, sepatu boot plastik, penutup kepala dan keranjang yang terlilit di punggungnya. Tangannya memegang tongkat bercapit untuk memunguti sampah. Matahari yang menyengat menghitamkan wajah mereka. Saya terus melangkah.
Pembuangan sampah ibukota ini sudah mencapai titik kritis. Minimnya lahan sehingga sampah harus ditumpuk menyerupai piramida. Saat ini tinggi gunungan sampah sudah mencapai 40 meter dari maksimal yang diijinkan, 50 meter. Dari lima zona, empat diantaranya sudah mencapai batas maksimal. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan. Kehidupan warga yang tinggal dalam radius hingga lima kilometer dari TPST Bantargebang juga terancam. Bau busuk menyengat dan air sumur tercemar air lindi sampah. Air lindi sampah terbentuk dari air hujan yang terjebak tumpukan sampah. Ini sangat berbahaya dan beracun karena mengandung konsentrasi senyawa organik maupun anorganik tinggi.
“Mau naik ke atas, Mbak?” tanya seorang lelaki usia kisaran 35 tahun yang kemudian saya kenal bernama Usman.
Saya bergabung dengan Usman duduk di bangku bambu yang berada di depan rumah bedeng. Dua orang lelaki lainnya yang lebih tua, Sulaiman dan Markoni yang berusia kisaran 50 tahun ikut ngobrol sambil memilah-milah sampah.
“Saya baru enam bulan kerja di sini,” katanya sambil memandangi gunungan sampah di depan kami yang menjulang dengan sorot mata penuh harapan.
“Covid bikin sulit cari kerja. Jadi buruh pabrik susah diterima. Istri nyuruh jadi sopir angkot, tapi angkot juga susah dapat penumpang. Di sini lebih pasti.”
“Asal rajin ngambil sampah, pasti bisa makan,” timpal Sulaiman.
Sulaiman berasal dari Bekasi Timur, sudah 10 tahun bekerja sebagai pemulung di Bantargebang. Seluruh keluarganya dibawa tinggal di rumah bedeng. Bagi Sulaiman, Bantargebang menjadi tempat paling tepat untuk mengais rezeki karena ia tidak memiliki pendidikan. Ia sudah nyaman tinggal di Bantargebang dan tidak ingin pindah ke tempat lain. Sementara Markoni yang berasal dari Padang juga sudah 10 tahun lebih tinggal di rumah bedeng. Meski terlintas keinginan untuk kembali ke kampung halaman, tetapi sampah lebih menjanjikan.
Kerja keras dan ketelitian menjadi modal utama para pemulung di Bantargebang. Jika beruntung mereka bisa menemukan barang-barang mahal seperti emas dan handphone bekas yang bisa dijual kepada pengepul. Sementara barang lain yang diincar para pemulung adalah plastik sekali pakai, kertas, karung-karung bekas hingga busa kasur. Bahkan belatung juga laku dijual.
Menurut Usman, harga sampah plastik per kg Rp.400 tetapi jika langsung dijual ke pabrik bisa dua kali lipat. Ada sekitar 7000 pemulung yang tinggal di rumah bedeng seputar TPST Bantargebang. Mereka datang dari berbagai daerah di seluruh Indonesia mulai dari Madura, Padang, Tangerang, Cikarang, Karawang dan sekitaran Bekasi. Mereka terpaksa datang ke Bantargebang karena tidak ada lapangan kerja di kampung. Lahan pertanian sudah habis dan mereka tidak memiliki pendidikan yang memadai. Sampah kemudian menjadi pilihan terbaik.
Pertemuan saya dengan tiga lelaki itu membawa saya ke rumah bedeng di belakang mereka. Di sana ada gubuk kecil dari kayu beratap terpal. Empat ibu-ibu muda sedang mengobrol. Saya memperkenalkan diri lalu bergabung. Di samping mereka tampak bangunan terbuka dari bambu yang dipenuhi anak-anak sedang belajar membaca dan menulis. Ternyata ibu-ibu muda itu sedang menunggu anak mereka sekolah. Beberapa aktivis dan relawan mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak pemulung. Mereka belajar membaca, menulis, berhitung dan agama.
“Saya tinggal di sini sejak tahun 2004,” kata Mama Akmal wanita berparas manis, mengenakan daster batik merah tanpa lengan dan riasan wajah lengkap. “Saya lebih kerasan di sini ketimbang di kampung, suami tidak punya kerjaan di sana. Mau bertani tidak bisa, jadi buruh tidak bisa.”
Sependapat dengan tiga lelaki yang saya temui, empat ibu-ibu muda ini juga meyakini bahwa sampah adalah berkah bagi mereka. Tidak ada yang lebih pasti soal rezeki dibanding sampah yang diangkut truk-truk dari Jakarta dan Bekasi.
Sudah 36 tahun TPST Bantargebang beroperasi. Dibuka tahun 1986, TPST terbesar di Indonesia bahkan di dunia menurut versi National Geografi ini, memiliki luas total 110.3 hektar. Secara administratif, wilayah TPST Bantargebang terletak di Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat yaitu kelurahan Ciketing Udik, Sumur Batu dan Cikiwul. Namun status tanah dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Setiap hari jumlah sampah yang masuk ke TPST Bantargebang sekitar 7000-7500 ton dari DKI Jakarta. Pembuangan sampah khusus milik Pemerintah Kota Bekasi terletak di Sumur Batu tempat saya masuk ke lokasi ini.
“Waktu banjir dan longsor, rumah ini kena juga. Beberapa pemulung meninggal tertimbun sampah,” kata Mama Akmal saat mempersilakan saya masuk ke dalam rumahnya.
Rumah bedeng mungil berdinding triplek itu cukup rapi. Dua kamar tidur disekat dengan tirai kain, dapur untuk memasak dan kamar mandi. Lantainya ditutupi plastik perlak warna abu-abu. Bagian dinding dihias tanaman gantung imitasi serta gambar doraemon di sisi yang lain. Meski berada tepat di depan gunung sampah dan jalan utama truk-truk sampah lewat, rumah bedeng ini terasa nyaman. Mama Akmal menyewa rumah bedeng ini dengan harga Rp.300.000.
“Tidak semua wanita ikut memulung, kami menjaga anak-anak di rumah,” kata teman Mama Akmal sambil mencomot makanan yang ada di depannya.
Lalat mengerubungi sisa makanan yang baru saja diambil, empat wanita itu tertawa-tawa menceritakan kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa anak selesai sekolah dan bergabung, ikut mengambil makanan yang dirubung lalat.
“Kita sudah kebal, tapi kalau tidak terbiasa jangan coba-coba, nanti sakit perut,” kata Mama Akmal seperti memahami kekhawatiran saya.
Seorang anak laki-laki berusia sekitar 7 tahun mendekati saya dan menarik-narik tangan saya. Sikapnya seolah sudah kenal dekat. Ia bernama Izan dan mengajak saya mendaki gunung sampah. Beberapa anak lain juga bergabung. Mereka berlari-lari kecil sambil menyanyi. Melompat ke atas bak sampah, naik ke atas tumpukan-tumpukan sampah sambil salto, menggantungkan tangan ke pinggiran bak sampah sambil menggoyang-goyangkan kakinya sementara teman yang lain menarik celananya sampai telanjang. Tawa mereka berderai penuh kegembiraan.
Saya kuwalahan mengikuti mereka mendaki gunung sampah. Beberapa kali Ijan mengulurkan tangan untuk menolong saya naik ke bukit yang lebih tinggi. Sejauh mata memandang hanya ada tumpukan sampah yang membusuk, para pemulung yang sibuk memunguti plastik dan truk-truk yang terus berdatangan. Saat truk datang, para pemulung berlari menyambut rezeki yang ditumpahkan dari atas truk dan berebut memunguti barang-barang yang bisa dijual.
“Dulu, ada yang meninggal tertimbun sampah yang ditumpahkan dari truk,” kata seorang anak perempuan setelah menyelamatkan kaki saya yang terjeblos sampah basah.
Saya tertegun memandang anak perempuan itu. Ia menceritakan hal tragis itu seperti hal biasa. Tidak ada yang menakutkan. Mungkin mereka tidak memahami betapa bahaya tempat bermain mereka dan tempat orang tuanya bekerja. Tetapi kenyataan memang berkata sebaliknya. Bisa jadi mereka telah kebal. Mereka terlihat sehat, ceria dan bersemangat bermain di tengah sampah rumah tangga, pasar, kantor, banjir, jalanan, bahkan sampah medis yang berbahaya saat covid-19 melanda.
Saya terus naik mengikuti langkah anak-anak itu. Di puncak gunung sampah terdapat tenda-tenda kecil yang dibangun para pemulung sebagai pelindung saat mereka bekerja. Seorang ibu tua berjaket abu-abu duduk berteduh di salah satu tenda kecil bersama teman-temannya. Saya bergabung dengan ibu tua itu dan membiarkan anak-anak berlarian di antara sampah.
“Ini rumah dan harapan saya, neng…” kata ibu tua itu tanpa saya tanya.
Saya memandang wajah ibu tua yang menghitam dan tampak kontras dengan kain penutup kepala warna merah muda yang ia kenakan. Senyum lebarnya mengembang menampakkan giginya yang telah habis. Tetapi saya memang melihat harapan di matanya, juga rumah yang enggan ia tinggalkan.
Lamat-lamat saya seolah mendengar suara Fiersa Besari menyanyikan lagu Alam Bukan Tempat Sampah. “Laut bukan tempat sampah, gunung bukan tempat sampah, alam bukan tempat sampah, jadikan bumi lebih indah…”
Tetapi bagi sebagian orang sampah adalah rumah dan harapan.
***