“Jadilah seorang filsuf. Tapi, diantara semua filosofimu, tetaplah menjadi manusia.” – David Hume (filsuf Skotlandia, salah satu figur penting dalam filosofi barat dan Pencerahan Skotlandia)
Pagi berkabut ketika saya keluar dari terminal bus Edinburgh dan berjalan menuju Princess street. Perjalanan 8 jam menggunakan bus dari Victoria stasiun London ke Edinburgh terasa sangat melelahkan untuk tubuh tropis saya yang harus berjuang melawan hipotermia. Suhu menunjukkan angka 9 derajat celsius dan angin dingin menampar-nampar tubuh saya yang terus menggigil. Sembari merapatkan jaket, saya menyeret kaki dan koper menyusuri sisi jalan yang masih sepi. Tram sudah beroperasi dan beberapa warga lokal sudah mulai beraktivitas. Bahkan ada yang jogging di udara sedingin ini. Entah terbuat dari apa kulit tubuh mereka sehingga tahan dingin.
Memandangi kota sambil menyusuri trotoar, saya seperti memasuki negeri dongeng dalam film-film Disney atau buku-buku klasik. Sejauh mata memandang tampak bangunan-bangunan masa lampau yang masih berdiri megah dan luar biasa eksotis. Seketika penderitaan saya karena dingin menghilang, berganti kegembiraan yang meluap. Ini kota yang sejak kecil saya impikan untuk saya kunjungi. Dan, Tuhan memberikan jalan pada impian saya. Di kejauhan kastil Edinburgh menyembul penuh pesona dari atas bukit seolah melambaikan tangan agar saya segera mengunjunginya. Tetapi saya harus ke hotel lebih dulu untuk menghangatkan badan dan mengisi energi sebelum menjelajah Edinburgh.
Saya menginap tepat di jantung kota tua Edinburgh. Di salah satu hostel murah yang menyediakan kamar dormitori berisi delapan tempat tidur dalam satu kamar. Memasuki pintu Hight street hostel yang terletak di salah satu bangunan kuno, saya seperti memasuki masa lampau. Ruangan kamarnya yang luas tampak normal dan modern, tetapi dekorasinya klasik dan sangat Skotlandia.
Buku-buku kuno yang sudah menguning tergeletak di rak samping ruang tunggu, sebuah patung masa lalu duduk di jendela seolah mengamati kami yang datang dari belahan dunia yang jauh.Seorang resepsionis tampan menerima kami dengan ramah dan mempersilakan kami istirahat sambil menunggu jam check in. Hostel ini juga menyediakan dapur yang bisa kita pakai untuk memasak secara bebas. Gula pasir, kopi dan teh disediakan gratis. Lalu mulailah kami memasak menu andalan yaitu mie instant. Untuk orang Indonesia (khususnya saya) yang melakukan perjalanan ke Britania Raya dengan cara ngirit, mie instant cukup (harus cukup) untuk mengisi energi sebelum penjelajahan karena makan besar hanya akan terjadi sekali dalam sehari sesuai rincian bujet yang minim.
Usai membersihkan badan dan sarapan mie instant, saya memulai penjelajahan. Royal Mile adalah tempat pertama yang kami lewati. Lokasi ini panjangnya satu mil dan merupakan jalan raya utama di kota tua Edinburgh yang banyak dikunjungi turis. Saya menemukan beberapa patung pesohor yang menjadi figur penting pada masa pencerahan Skotlandia. Di kiri-kanan jalan, banyak pertokoan, hotel, museum, restoran, kafe bahkan tempat pembuatan rok (baju tradisional Skotlandia). Menurut seorang teman, di Royal Mile juga sering ada atraksi seni yang menarik, tetapi sayangnya saya tidak menemukannya siang itu.
Saya malah berbelok ke Royal Mile market, satu pasar kecil yang menjual berbagai macam suvenir khas Skotlandia. Di pasar ini juga kami menemukan pusat informasi dan peta petunjuk untuk menjelajahi kota tua Edinburgh. “Jangan kuatir, semua lokasi wisata di kota tua Edinburgh bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Semuanya cantik, anda tak akan kecewa,” kata petugas informasi sambil menunjuk peta. Tapi saya tidak yakin dengan kaki Indonesia saya dalam suhu 9 derajat sementara kaki Skotlandia dia bisa jogging di pagi hari yang beku. Tetapi layak untuk dicoba. Sebagai penulis, tujuan saya yang pertama adalah Writer’s Museum.
Edinburgh Skotlandia pada abad keemasannya melahirkan banyak figur-figur penting yang berpengaruh di dunia. Seperti diantaranya David Hume ; seorang filsup, ekonom dan sejarawan. Adam Smith ; Bapak Kapitalisme yang menjadi pelopor ilmu ekonomi modern. James Watt ; penemu dan pengembang mesin uap yang menjadi dasar tercetusnya Revolusi industri.
Tak hanya itu, kota eksotis ini juga melahirkan penulis-penulis hebat seperti : Walter Scott, Robert Louis Stevenson, Arthur Conan Doyle dengan Sherlock Holmes-nya dan penulis generasi baru seperti Ian Rankin. Bahkan meski tidak terlahir di Skotlandia, JK Rowling menuliskan karya fenomenalnya Harry Potter di kafe-kafe Edinburgh.
Setelah menyeberang jalan dan memasuki gang sempit sampailah saya di gedung Lady Stairs. Writer’s Museum menempati gedung Lady Stair dan merupakan museum tiga penulis Skotlandia yaitu Robert Burns, Sir Walter Scoot dan Robert Louis Stevenson. Tetapi sayangnya ketika saya berkunjung museum itu sedang tutup dan baru akan buka lagi pada bulan Oktober. Maka untuk sedikit merasakan energi kreatif para penulis hebat itu saya hanya bisa berdiri di depan pintu tertutup Writer’s Museum sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat lain.
Matahari bersinar cerah, tetapi udara dingin yang menggigit membuat saya semakin menggigil. Saya memutuskan masuk ke Museum Nasional Skotlandia untuk menghangatkan badan sekaligus melihat koleksi di dalamnya. Penemuan-penemuan pada masa abad keemasan Edinburgh terpajang di museum ini. Lokasi museum ini sangat luas sehingga butuh waktu lama untuk mengelilinginya dan saya sudah kelaparan.
Sebelum jam makan siang tiba, saya sudah keluar dari museum dan melewati belokan jalan dengan patung Greyfriars Bobby. Seperti kisah Hachiko di Jepang, Bobby adalah anjing milik seorang polisi bernama John Gray. Saat John Gray meninggal dimakamkan di Greyfriars Kirk. Sejak kepergian tuannya itulah, Bobby duduk menunggui makam tuannya hingga anjing ini meninggal.
Menyeberang jalan dari patung Greyfriars Bobby, saya terdampar di tempat makan Nando’s karena sudah kelaparan. Sebelum mencicipi kopi di The Elephant House tempat JK. Rowling melahirkan Harry Potter, saya ingin makan kentang dan ayam di Nando’s.
Menjelang sore, saya mendaki Calton Hill untuk melihat Edinburgh dari ketinggian. Calton Hill terletak di tengah kota Edinburgh tidak jauh dari tempat kami menginap. Tidak hanya pemandangannya yang sangat indah dari ketinggian, di bukit Calton ini juga terdapat beberapa tempat bersejarah yang bisa dikunjungi seperti Monumen Nelson, yang berbentuk seperti teleskop terbalik dan Monumen Nasional untuk memperingati prajurit Skotlandia yang meninggal di Perang Napoleon.
Dari atas bukit ini terlihat jelas kontur alam Edinburgh yang berbukit-bukit dan bangunan-bangunan kuno yang mencuat indah. Andai saja memiliki banyak waktu, saya ingin duduk lebih lama di atas bukit ini sambil menikmati sapuan angin dingin dan memandang kejauhan. Tapi saya bukan orang Skotlandia yang bisa jogging di pagi hari yang beku, maka saya memutuskan kembali ke hostel sebelum terkena hipotermia.
Lampu-lampu mulai menyala saat saya berjalan kembali ke hostel. Pemandangan kota menjadi kian eksotis dan magis. Saya sampai beberapa kali berhenti dan menghela napas dalam. Takjub melihat pendar lampu menerpa bangunan-bangunan kuno itu sambil membayangkan para pesohor yang mengubah dunia itu berjalan di sini pada masanya sambil memikirkan temuan-temuannya yang rumit.
Eksotisme Edinburgh bukan hanya berpendar dari penampakan luarnya yang cantik tapi juga kegeniusan otak penghuni kotanya. Malam menjadi luar biasa dingin ketika saya menyeberang jalan menuju hostel. Saya berjanji untuk kembali suatu hari nanti. ***
Masya Allah. Hanya membaca, tapi seperti ikut merasakan takjub berjalan diantarbangunan kuno yang terlihat kokoh itu.
Eeh btw, Mbak, aku punya novel Greyfriars Bobby ituuu.
Dan, makasiih sudah berbagi oleh2 😍 colek2 lagi kalau ada yg baru 😉