861 views 8 mins 0 comments

Mengingat Desember di Mesquita e Cemitério de Macau (1)

A good traveler has no fixed plans, and is not intent on arriving.  ~Lao Tzu

“Good Morning from Macau!”  kicauku di twitter pada suatu pagi di bulan Desember 2011 dari salah satu hostel mungil di dekat kawasan kasino Grand Lisboa Macau. Aku main internet sambil meringkuk di selimut.  Sebenarnya suhu cuma sekitar 18 derajat celcius, tapi buat orang tropis sepertiku sudah cukup bikin menggigil dan malas beranjak dari pembaringan.

Beberapa menit kemudian, headwriterku di sinetron series mention. “Tary lagi di Macau? Salam hormat ya untuk imam masjid Macau. Saya pernah singgah di sana beberapa waktu lalu.”  Aku membalas mention itu,”Insya Allah.” Tiba-tiba aku sadar. Waduh! “Salam” itu kan harus disampaikan dan kata “Insya Allah” itu harus diusahakan sampai titik darah penghabisan. Wah, gimana nih? Padahal aku nggak tahu dimana masjid itu! Sisi hatiku yang lain bilang “makanya ri, lain kali jangan segampang itu bilang insya Allah.”  Akhirnya aku memutuskan untuk mengubah beberapa rencana dan memasukkan agenda ke masjid Macau pada sore hari menjelang Ashar.
jalanan Macau malam hari
Setelah resign sebagai karyawan stasiun “Televisi Milik Kita Bersama” pada Agustus 2011 dan mendapati kenyataan hidup yang meleset dari rencana, aku memutuskan untuk melihat dunia di luar sana. Meidy, sepupuku yang baru pulang sekolah di Perancis bersedia menjadi travelmate-ku. Kebetulan dia juga lagi galau dan butuh hal-hal baru untuk penyegaran hidupnya. Karena perjalanan dengan paket wisata sudah pasti mahal, maka kami memutuskan backpacker ke Macau-Hongkong-Singapura dalam 12 hari. Ini pertama kalinya aku keluar negeri!

Dengan panduan buku-buku traveling dan Om Google, aku mengurus sendiri akomodasi dan transfortasi selama perjalanan ke tiga negara itu. Keder juga sih, soalnya pertama kalinya pergi dan semua ngurus sendirian.  Tujuan utamaku pergi hanya ingin melihat dunia yang berbeda dan menemukan hal-hal baru. Tetapi, mention dari headwriter-ku itu membuatku punya tujuan lain. Aku ingin sholat di masjid kota-kota yang aku kunjungi! Dan begitulah seterusnya, mencari masjid kemudian menjadi tujuan utama bagiku ketika mengunjungi tempat-tempat baru.
pendestrian di pinggir waduk
Setelah mengunjungi tempat-tempat wisata populer di Macau, aku dan Meidy naik bis menuju menuju pemberhentian terakhir di dekat pelabuhan. Menurut peta, dari sana bisa berjalan kaki ke arah masjid. Tetapi begitu turun dari bis, kami berada di sebuah perempatan dan tidak tahu harus kemana.  Tak seorangpun yang kami temi bisa berbahasa Inggris sampai akhirnya kami mengikuti insting untuk naik ke pinggiran sebuah waduk besar.  Kami bertanya menggunakan bahasa isyarat  pada orang yang kami temui kemudian dan menunjukkan peta lokasi masjid. Orang itu menunjuk ke kanan lalu ke kanan lagi. Hmm, sepertinya tidak jauh. Kami segera berjalan mengikuti petunjuk orang itu.
Kami berjalan menyusuri pendestrian pinggir waduk yang bersih dan banyak ditanami bunga warna warni. Udara sangat segar dan waduk tampak  tenang di kejauhan. Tempat ini sepertinya juga dipakai olahraga karena banyak alat-alat untuk olahraga. Tetapi setelah kami berjalan sekitar 30 menit, belokan ke masjid itu tak juga kami temukan. Dimana masjid itu? Kami terus berjalan dan bertemu mbak-mbak dan mas-mas dari Indonesia sedang bercengkerama di pinggir waduk sambil menikmati sore hari. Aku dengar mereka ngomong bahasa Jawa. “Kapan kowe mulih? Yak opo se kon iku? Gak main blas wis!” Hehehe. Sepertinya mereka berasal dari tanah kelahiranku.

alat olahraga di pinggir waduk
 Seorang cowok hitam manis yang berpapasan dengan kami senyum-senyum. Apa maksudnya ya? Ia kemudian menghampiri kami dan bertanya, “Dari Malaysia?” Meidy menggeleng. “Kami dari Indonesia.” “Mau ke masjid. Dimana ya?” Cowok itu menunjuk jalan di ujung . Waduhhh! Masih jauh rupanya. Kami kemudian pamit dan melanjutkan perjalanan menuju masjid. Cowok hitam manis itu senyum-senyum sambil melambaikan tangannya. Meidy tertawa geli.

Seperti petunjuk cowok itu, kami berbelok ke kanan. Tapi kami menemukan kelenteng. Apa masjid di sini arsitekturnya seperti ini? Tapi nggak ada tulisannya masjid? Kayaknya bukan ini deh! Mungkin masih di depan sana. Aku dan Meidy terus berjalan sampai menemukan rumah (kalau di Indonesia kontrakan kali ya). Meidy terdiam bingung. Mana masjidnya?
2011 belum populer selfie lho padahal! haha
“Mungkin masjidnya di dalam sana. Ngetuk pintu dan nanya orang aja yuk,” kataku. Tapi Meidy terdiam ragu. Aku tidak sabar dan melangkah ke halaman. Meidy mengikutiku. Semua pintu tertutup dan sangat sepi. Meidy berhenti dan mencermati petanya lagi. Aku ikut melihat peta. Tiba-tiba beberapa menit kemudian ada suara-suara napas. Kami menoleh ke arah suara. Bersamaan itu tampak anjing besar berwarna hitam di halaman agak jauh dari kami membuka matanya. Melihat orang asing, anjing itu langsung bangkit dan menyalak. Sorot matanya penuh permusuhan. Lalu, dua anjing besar lainnya datang! Ketiganya sama besarnya dan sama sangarnya!  Waaaaaaa! Ini benar-benar gila! Aku mencoba memasukkan bayangan anjing-anjing lucu, baik dan setia ke dalam otakku. Tapi kenyataannya aku tetap saja ketakutan! Nggak lucu kalau sampai digigit anjing di sini, beneran deh! OMG tolongggg!

Aku dan Meidy berdiri membeku di tengah halaman sementara tiga anjing ganas itu terus menyalak dan seperti hendak menerkam kami. Meidy memegang tanganku erat sampai lecet rasanya, sementara sekujur tubuhku dingin. Aku mulai baca-baca doa. Paling nggak semoga ada manusia muncul dari balik pintu rumah itu. Tapi tidak ada satu manusiapun. Anjing itu terus menyalak dan mendekati kami. Aku menarik lengan Meidy agar berjalan pelan-pelan keluar halaman. Aku dengar Meidy berbisik,”kalau terjadi apa-apa, maafin aku ya.” Aku diam saja dan menarik Meidy berjalan pelan-pelan keluar halaman. Begitu keluar dari halaman, aku memberi aba-aba ke Meidy,”lariiiii!” Dan kami lari tunggang langgang dikejar anjing. Kami tiba di depan gerbang tinggi sebuah bangunan lalu tanpa pikir panjang kami mendorong gerbang  yang tidak terkunci itu. Kami segera menutup gerbang dan sembunyi. Tiga anjing itu berkeliaran di luar gerbang, menyalak-nyalak dan mengendus gerbang. Hampir seperempat jam mereka di sana, baru pergi setelah putus asa tidak menemukan kami. 

waduk yang keren

Begitu situasi aman, aku dan Meidy menghela napas lega. Kami melihat sekeliling lalu membaca tulisan di gerbang. Tampak tulisan arab “Bismillah” kemudian ada huruf china dan di bawahnya (kami nggak tahu artinya apaan) dan ada lagi tulisan, “Macau Mosque and Cemetery” “Mesquita E Cemeterio De Macau.” Kami saling berpandangan lalu berpelukan senang. Alhamdulillah! Akhirnya kita menemukan masjidnya! Tapi kenapa tempat ini sangat sepi? Aku memandang berkeliling dan tidak menemukan siapapun. Ada banyak pohon menjulang tinggi dan daun-daun kering berjatuhan. Beberapa sisi juga tampak kotor dan tua. Tiba-tiba tangan Meidy mencengkeram lenganku kuat-kuat lagi.

“Lihat itu.. lihat itu.. itu kan.. itu kan…” wajah Meidy pias ketakutan. Aku menoleh ke arah telunjuk Meidy dan mendapati barisan nisan diam membeku di sana. Hah!? Ini masjid atau kuburan???
(berlanjut ke bagian 2)
Avatar
Writer / Published posts: 109

Writer, Traveller and Dreamer

Twitter
Facebook
Youtube
Flickr
Instagram