Tropper yang saya tumpangi melesat menembus malam. Tersorot lampu depan tropper, jalanan beraspal halus dari Banyuwangi kota menuju pos Paltuding Ijen tampak berkelok-kelok dibayangi sisi kiri dan kanan hutan lebat. Udara dingin menerobos melalui jendela tropper yang terbuka sebagian. Tidak terlalu dingin, hanya sekitar 17 derajat sehingga saya tidak perlu mengenakan jaket.
“Perlu waktu satu jam dari kota sampai Paltuding dan banyak cerita mistis di jalanan ini, nanti saya ceritakan waktu kita balik,” kata Aldo, pemandu pendakian, yang duduk di samping sopir.
Sebelum melambung sebagai kota wisata, kota ini memang lebih dikenal dengan sitgma kota mistis. Saya melirik sisi jalan yang menikung tajam dan curam. Tampak dua pohon besar menjulang tertutup kain putih pada bagian tengahnya. Pohon itu memang kelihatan angker, tetapi pikiran saya berkecamuk pada hal lain. Saya membayangkan perjalanan mendaki gunung Ijen sebentar lagi. Tentu tidak mudah dengan kondisi kaki kiri bermasalah meskipun sudah minum obat dan cukup tidur.
Pukul 01.30 dini hari, tropper tiba di pos Paltuding, titik berkumpulnya para pendaki. Belum banyak pendaki yang datang. Aldo mengajak saya memasuki salah satu warung yang berjajar di sana dan memesan segelas teh panas sebelum gerbang pendakian dibuka 30 menit lagi. Dua orang bule duduk di pojok warung sedang mengobrol.
Tiket memasuki kawah Ijen sebenarnya bisa dibeli secara online, namun fasilitas pengecekan tiket masih manual sehingga tidak ada bedanya dengan pembelian di loket tiket. Menurut Aldo, pada musim liburan, antrian pembelian tiket sangat panjang sehingga sebagian orang tidak kebagian tiket bahkan kesiangan untuk naik ke puncak.
“Pendakian ini hanya sekitar 3,4 kilometer saja, melewati enam pos dan akan terbagi menjadi tiga bagian. Pertama pemanasan, kedua jalan menanjak dan ketiga landai seperti di jalanan Thamrin Jakarta. Setiap pos ada toilet namun tidak selalu ada air,” jelas Aldo.
Tepat pukul 2 saat gerbang dibuka, saya, Aldo dan Astrid, seorang teman wanita mulai mendaki. Tidak banyak pendaki malam ini, sebagian besar rombongan bule bersama pemandunya masing-masing. Dua ojek dorong yang diikuti enam orang penariknya mengikuti kami. Mereka sudah sejak di pos Paltuding menawari kami naik ojek dorong saja ketimbang capek mendaki.
Dengan ketinggian 2386 mdpl, jalanan mendaki dari Paltuding hingga puncak gunung Ijen hanya satu jalur. Lebar jalan ini ada yang seluas 3 meter dan 1,5 meter dengan sisi kiri dan kanan jurang. Kontur tanah berpasir akan memadat setelah hujan. Beruntung sebelum tengah malam tadi, Banyuwangi diguyur hujan sehingga lebih nyaman didaki. Sepatu hiking yang saya kenakan juga sangat membantu. Meskipun begitu, mendekati pos 1 yang menurut Aldo hanya pemanasan sudah terasa tanjakannya. Astrid tampak menunduk lemas ketika tiba di pos 1, sementara napas saya mulai ngos-ngosan.
“Naik ojek saja Mbak, masih lima pos lagi, tanjakannya berat,” kata penarik ojek dorong itu santai.
Astrid masih menunduk bertumpu tongkat, sementara wajahnya pucat. Kalau menggunakan ojek dorong memang lebih baik dari awal mengingat ongkosnya tidak murah yaitu Rp.800.000, pulang pergi. Saya mulai menimbang seandainya sampai pos 3 tidak kuat maka sangat rugi membayar segitu banyak. Saya duduk bersandar di pojok pos sambil minum beberapa teguk air. Kaki kiri saya baik-baik saja, tidak terasa sakit. Saya kemudian memutuskan terus berjalan kaki.
“Saya nyerah, naik ojek saja deh,” kata Astrid tiba-tiba membuat saya terkejut sekaligus was-was.
Aldo kemudian memesankan satu ojek dorong yang ditarik oleh tiga orang. Saya menitipkan ransel pada Astrid sehingga bisa lebih ringan berjalan hanya membawa air mineral dan tongkat. Astrid begitu cepat menghilang dibawa ojek dorong dalam kegelapan, sementara saya kembali mulai mendaki.
Bulan menjelang purnama menerangi pendakian. Tiga rombongan bule menyalip saya yang berjalan bagaikan siput. Tidak ada satupun bule naik ojek dorong bahkan mereka setengah berlari melewati tanjakan. Diam-diam saya iri kepada mereka. Terbiasa berjalan kaki dan terlihat sangat bugar. Saya terlalu dimanjakan dengan kendaraan ini itu saat bepergian sehingga terasa berat untuk mendaki.
“Ojek saja Mbak, itu tanjakan depan semakin parah. Mbak ndak akan kuat naiknya. Enak pakai ojek langsung sampai,” kata penarik ojek dorong saat saya berhenti setiap sepuluh langkah.
“Depan pos 4, habis itu jalanan kayak di Thamrin,” bisik Aldo menyemangati namun tidak memaksaku. “Sekali tanjakan lagi saja kita sampai.”
Mendadak saya merasa pendakian ini seperti kehidupan. Ada malaikat yang membimbing saya menuju tujuan yaitu Aldo dan ada setan yang terus menggoda agar saya menyerah dalam perangkap rayuannya yaitu para penarik ojek dorong. Konsep sok mendalam di kepala saya itu menolong saya terus berjalan dan mengabaikan tawaran mereka naik ojek dorong.
Bayangan tentang jalanan landai seperti di Thamrin lenyap saat berhasil melewati pos 4. Jalanan semakin menanjak bahkan saya menemukan sudut-sudut dengan kemiringan 45 derajat yang sangat melelahkan. Saya hampir menyerah di pos 5, tetapi tawaran penarik ojek dorong justru memacu semangat saya untuk terus berjalan. Saya tipe orang yang saat ditantang atau diremehkan justru akan berkobar mengejar tujuan saya.
Sampai titik ini saya tidak mengatakan kepada Aldo bahwa terdapat kista di kaki kiri saya yang belum dioperasi. Seharusnya tidak memungkinkan untuk pendakian ini. Biasanya saya hanya kuat berjalan maksimal sejauh 5000 langkah di dataran. Itupun setelahnya saya harus istirahat satu atau dua hari agar kaki saya normal kembali. Tidak hanya itu, Aldo juga tidak tahu bahwa saya penderita hypertensi yang tergantung pada obat harian. Saya merasa bersalah menyembunyikan semua ini, tetapi saya ingin membuktikan pada diri saya sendiri bahwa saya mampu melakukan ini. Saya sehat dan saya bisa!
Tiba di puncak, Astrid sudah menunggu sambil memandang berkeliling dari ketinggian. Jalanan landai ala Thamrin yang dikatakan Aldo hanya halusinasi semata. Hingga saya berhasil mencapai puncak, jalanan tetap menanjak meski tanjakannya tak sesulit saat melewati pos 4 dan 6. Ada kegembiraan yang meluap saat mencapai puncak. Ternyata fisik saya tidak seburuk dugaan saya sendiri dan keluarga saya. Tetapi apakah setelah sampai puncak semuanya selesai? Oh, sepertinya belum.
“Blue fire ada di bawah sana dengan medan berbatu terjal. Kalau berani turun, kita akan memulai perjalanan dari sana!” kata Aldo menunjuk gerbang kecil di ujung dengan senternya.
“Berapa jauh?” tanya saya mulai gamang.
“Butuh waktu 45 menit turun dan 45 menit naik. Tergantung kecepatan kalian. Kalau tidak mau kehilangan moment sunrise di atas sana harus cepat.”
Saya dan Astrid saling pandang. Tampak mata Astrid memberi kode untuk turun, mengingat dia tidak terlalu lelah karena naik ojek dorong, tetapi bagaimana dengan kaki saya? Medan terjal berbatu itu lebih sulit lagi. Saya melongok ke bawah dan tidak menemukan penampakan jalan yang akan kami tempuh selain hanya jurang dan tumpukan batu-batu dalam kegelapan. Saya menimbang-nimbang beberapa saat sebelum kemudian memutuskan yang terbaik.
“Ayo kita turun!”
BLUE FIRE DAN PEKERJA TAMBANG BELERANG
Jalan setapak berbatu terjal yang sulit dilihat pijakannya itu miring 45 derajat dan gelap. Hanya diterangi senter pada batu-batu yang saya pijak, samar-samar dalam terang bulan saya melihat sekeliling saya jurang. Salah pijak sedikit saja bisa menggelinding ke bebatuan yang tajam atau bahkan mendekati bibir kawah. Hanya sedikit pengunjung lokal yang turun ke bawah. Kebanyakan bule juga sudah berbalik arah ke atas. Mungkin mereka hanya perlu waktu 30 menit untuk sampai bawah.
Tujuan kami dini hari ini ingin melihat blue fire. Hanya ada di dua gunung aktif di dunia yaitu Indonesia dan Islandia, fenomena blue fire ini menjadi incaran pendaki manca negara. Orang lokal sendiri kebanyakan lebih suka menikmati sunrise di puncak ketimbang berlelah-lelah turun ke bawah dengan medan yang terjal. Sebagian orang lokal menyebut pemandangan itu hanya seperti kompor gas, jadi mengapa harus capek-capek turun melihatnya?
Panas bumi yang bertekanan tinggi bertemu dengan kandungan belerang sehingga terjadi oksidasi. Reaksi dari pembakaran belerang inilah yang kemudian menghasilkan panas dan cahaya. Oleh reseptor mata manusia diterima sebagai warna biru. Tidak salah jika orang lokal menyebut mirip api kompor gas, memang fenomena blue fire ini mirip kompor gas. Jika kompor mengalir melalui kapiler, blue fire Ijen keluar di permukaan belerang.
“Kita berhenti di pertengahan, jika api biru kelihatan dari sini tidak usah sampai bawah,” kata Aldo.
Sampai titik tengah kami membutuhkan waktu sekitar 30 menit, itupun nyaris seperti merangkak. Kami menepi di permukaan tanah datar dan melihat kejauhan pada titik lokasi blue fire. Belum tampak dari tempat kami berhenti. Setelah memasang masker gas, kami memutuskan meneruskan perjalanan turun.
Sekitar jam 4 dini hari, kami sampai di lokasi blue fire. Asap mengepul dari sisi kiri kawah dan seringkali terbawa angin menerpa pengunjung. Tidak main-main, asap ini terdiri dari karbon dioksida dan hydrogen sulfida. Jika terhisap akan merusak pernapasan bahkan mampu merenggut nyawa. Mata juga menjadi pedas dan berair saat terkena asap ini. Tetapi saya lihat para pekerja tambang hanya mengenakan kain penutup kepala bahkan tidak mengenakan apapun untuk melindungi pernapasan mereka. Beberapa orang menembus asap tebal itu untuk mengaduk-aduk belerang.
Tidak seperti dahulu, kini Blue fire hanya menyala kecil. Itupun dinyalakan dulu oleh penjaga tambang. Menurut salah satu pekerja tambang, jika dibiarkan terus menerus menyala, persediaan belerang akan habis. Maka mereka memilih jalan tengah, pekerja tambang dan wisatawan sama-sama mendapatkan manfaatnya. Tambang tetap berjalan dan blue fire tetap menyala. Pengunjung juga disarankan memberikan uang seikhlasnya kepada penjaga blue fire atau lebih tepatnya yang menyalakan blue fire.
Tidak hanya asap yang sangat berbahaya untuk kesehatan, para pekerja tambang juga harus berhadapan dengan air kawah ijen yang memiliki kandungan asam sangat tinggi dan cukup mudah membunuh manusia. Bahkan sejak tahun 2012, sudah tiga kali terjadi tsunami kawah Ijen.
Pada 29, Mei 2020, gelombang setinggi 3 meter dari kawah menghantam areal pertambangan dan sekeliling cekungan kawah. Satu pekerja tambang tidak berhasil menyelamatkan diri dan ditemukan terapung di kawah esok harinya.
“Saya sudah duapuluh lima tahun bekerja di sini. Dari jam satu siang kemarin belum pulang,” kata seorang bapak penambang setelah menembus asap tanpa pelindung muka. “Demi anak istri, semua bahaya akan saya hadapi.”
“Teman saya meninggal waktu tsunami dua tahun lalu, sementara saya berhasil lari menyelamatkan diri. Tempat ini bahaya, makanya saya selalu mengingatkan pengunjung untuk hati-hati,” tambah bapak satunya.
Dua lelaki pekerja tambang itu memperlihatkan potongan-potongan belerang yang sudah dimasukkan ke dalam dua keranjang rotan. Dua rotan itu berisi sekitar 70 kilogram belerang yang akan mereka pikul melewati jalur terjal berbatu tempat saya turun tadi. Pundak mereka sudah mengeras kapalan selama puluhan tahun memikul. Sampai di puncak mereka memecah belerang menjadi lebih kecil dan memasukkan ke dalam karung. Dari puncak ke Paltuding mereka membawa belerang itu menggunakan troli. Dulu sebelum menggunakan troli, menurut Aldo mereka memikul belerang itu sampai Paltuding. Sebagian dari pekerja tambang ini juga menarik ojek dorong untuk pengunjung sehingga tak diragukan lagi kekuatan fisik mereka.
“Setiap hari para pekerja tambang mengumpulkan 150 sampai 200 kilogram belerang yang dijual ke pengepul dengan harga per kilogram Rp.1000 sampai Rp.1250. Penghasilan ini masih lebih baik ketimbang berladang,” kata bapak pekerja tambang itu.
Blue fire meredup pada pukul 05.00 pagi. Para wisatawan juga sudah berkumpul di puncak menunggu sunrise. Saya sudah merelakan ketinggalan sunrise karena perjalanan balik ke atas sudah pasti merangkak lagi. Tetapi perjalanan balik ke atas kali ini sudah terang sehingga kelihatan keseluruhan medan terjal yang kami lewati. Mengerikan tetapi juga luar biasa indah. Kami merangkak memutar di antara bebatuan seolah tidak berada di bumi.
Aldo selalu mengingatkan untuk menepi dan tidak menganggu perjalanan para pekerja tambang setiap berpapasan dengan mereka. Sambil memikul belerang seberat 70 kilogram ke puncak, para pekerja tambang menawarkan souvenir dari belerang dalam berbagai macam bentuk cetakan seperti kura-kura, ikan dan lain sebagainya dengan harga Rp.20.000 per biji. Belerang selain bisa dimanfaatkan untuk pertanian juga dapat digunakan untuk pengobatan.
SUNRISE DAN LOKASI INSTAGRAMABLE
Jelas sampai di puncak, saya ketinggalan sunrise. Pengunjung juga sudah mulai turun meninggalkan puncak Ijen sementara saya masih berjalan pelan menuju lokasi sunrise. Saya melihat pemandangan gunung lain yang ada di kompleks Pegunungan Ijen, di antaranya Gunung Raung, Gunung Suket, Gunung Rante dan puncak Gunung Merapi yang berada di timur Kawah Ijen. Berpadu dengan bukit berbatu yang saya daki, tempat ini memang luar biasa indah.
Sepanjang menuju lokasi sunrise, saya menemukan pohon-pohon mati yang sangat eksotis, gerombolan edelweiss yang tidak berbunga dan dahan-dahan pohon bekas terbakar. Kebakaran beberapa kali terjadi disebabkan para pendaki yang datang terlalu awal dan membuat api unggun karena kedinginan.
Matahari memang sudah muncul, tetapi para pengunjung juga sudah turun sehingga tempat foto-foto instagramable menjadi kosong. Lokasi instagramable itu memang tepat berada di puncak dengan background Kawah Ijen yang berwarna toska. Tidak hanya pemandangan kawah yang sangat cantik, tetapi dahan-dahan mati juga menambah lokasi ini menjadi eksotis.
Semakin siang intensitas asap belerang semakin tinggi. Kawah Ijen yang berwarna toska tidak lagi terlihat selain hanya gumpalan-gumpalan asap. Di balik semua bahaya yang mengincar pekerja tambang maupun pengunjung, pemandangan puncak Ijen memang luar biasa mempesona. Bahaya dan pesona yang membuat saya merasa lebih akrab dengan Tuhan. ***
Ijen, Mei 2022