Suatu siang saat membuka-buka laman berita online saya membaca kalimat ini : “Kita memerlukan 4000 tahun untuk berpindah dari penggunaan besi menjadi industri. Lalu kita hanya memerlukan 40 tahun untuk berpindah ke tahap computer. Namun ke depannya kita hanya memerlukan 4 tahun untuk menjadikan dunia ini berbeda dari sebelumnya. Hingga pada akhirnya setiap hari kita akan melihat teknologi yang berbeda.” Saya menyadari bahwa saat ini saya berada pada dunia di mana setiap hari melihat perkembangan teknologi yang sangat pesat dan berbeda untuk semua bidang kehidupan, termasuk di dalamnya bidang tulis menulis yang saya tekuni.
Saya suka menulis sejak sekolah dasar ketika buku harian dengan gembok di pinggirnya sangat ngetrend. Ibu membelikan buku harian itu agar saya bisa menuliskan pikiran-pikiran saya karena saya sangat pemalu untuk bicara. Ibu juga memberikan saya banyak bacaan agar saya bisa melihat dunia luar dari tempat tinggal kami yang terpencil di pegunungan. Lalu saya mulai menulis di media koran dan majalah ketika duduk di bangku SMA. Pada masanya dimuat di koran atau majalah merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena dua atau tiga gelintir orang yang suka membaca di kampung itu akan menangis tersedu-sedu saat membaca cerita kita yang mengharu biru. Kadang mereka datang ke rumah untuk memeluk kita karena sedih setelah membaca ceritanya. Lucu memang, tapi itu sungguh pernah terjadi pada masa lalu.
Memasuki masa kuliah saya berhenti menulis. Hanya dua cerpen yang terbit di majalah selama empat tahun. Setelah kuliah saya bekerja di dunia computer dan selama empat tahun juga tidak menulis. Tetapi selama bekerja itu saya mulai punya keinginan kembali menulis. Tahun 2004 saya memutuskan berhenti sebagai karyawan perusahaan computer dan menjadi full writer dengan mendisiplinkan diri menulis setiap hari. Mulai tahun itu banyak tulisan saya terbit di media cetak baik berupa cerpen, cerita bersambung maupun cerita anak. Media-media yang pernah memuat tulisan saya waktu itu diantaranya adalah Majalah Femina, Majalah Paras, Majalah Annida, Koran Suara Pembaruan, Koran Republika, Majalah Sabili, Majalah Ummi, Majalah Noor, Koran Jawa Pos, Koran Kompas rubrik Kompas Anak dan entah majalah apalagi saya lupa. Tidak hanya dimuat dimedia cetak, tetapi saya juga menerbitkan sejumlah buku novel remaja, cerita anak dan kumpulan cerpen. Seingat saya produktivitas saya menulis luar biasa. Mungkin karena saya membutuhkan uang dari menulis atau memang saya sedang semangat-semangatnya.
Pada masa itu menulis masih mengikuti alur lama. Penulis semedi menuliskan kisahnya – memberikan ke redaktur atau editor – kemudian kalau sesuai akan dimuat atau dicetak sebagai buku – penulis menerima honor/royalty. Tidak ada tugas penulis mempromosikan karyanya karena semua tugas promo ada dipundak marketing penerbitan atau majalah. Maka pada masa itu banyak karya yang lebih terkenal dibanding pribadi penulisnya. Bahkan penulisnya terkesan misterius dan susah ditemukan. Saya suka berada dibalik layar seperti itu dan tidak diketahui banyak orang. Hingga tahun 2008 saya masuk ke industri televisi yang bergelut dengan ratusan naskah televisi di tempat saya bekerja, saya masih nyaman berada di balik layar menuliskan naskah, mempersiapkan syuting, mengikuti proses casting pemain untuk menyesuaikan dengan karakter naskah hingga menonton previewnya di ruangan tertutup dan diam-diam bertepuk tangan saat tontonan itu sukses. Tugas marketing sudah ada yang menjalankan sendiri, saya focus menulis dan mengedit naskah-naskah scenario itu.
Tetapi kini zaman mulai berubah total. Persis seperti kalimat yang saya temukan di laman berita online tentang teknologi di awal tulisan ini, saat ini saya berada di zaman yang setiap hari terjadi perubahan teknologi secara cepat. Nyaris saat saya berkedip hal-hal baru selalu muncul. Penulis juga tidak cukup bersembunyi di balik layar, semedi dan tepuk tangan diam-diam menikmati kesuksesannya. Dan ini masalah bagi saya! Beberapa masalah yang saya hadapi di era digital ini dan cara saya mencoba menyelesaikannya adalah :
- Penulis Sebagai Marketing.
Di era digital ini, penulis harus muncul mempromosikan sendiri karya-karyanya secara massive agar laku dijual. Sudah bukan zamannya penulis sembunyi dan bersikap misterius membiarkan karyanya berjalan sendiri menuju pembaca. Dengan tingkat daya baca yang rendah, penerbit harus berjuang lebih keras untuk menjual buku. Bagus jika penulis memiliki akun social media yang aktif dengan banyak followers. Beban marketing kemudian juga berpindah ke pundak penulis. Sudah bukan zamannya penulis bersikap misterius dan bersembunyi. Ini masalah besar buat saya. Saya tipikal orang yang sangat tidak suka menampakkan diri berlebihan. Saya tidak suka menjadi pusat perhatian dan berhadapan dengan banyak orang yang langsung melihat muka saya. Bahkan saya tidak suka bicara secara langsung di telepon karena saya butuh memproses informasi yang masuk sebelum menjawabnya. Saya lebih suka berkomunikasi melalui pesan sehingga saya punya waktu untuk berpikir. Dalam kondisi yang sangat terbuka dan langsung, saya merasa tertekan dan tidak bisa berpikir. Ini sangat berat bagi saya, tetapi saya mencoba tetap mempromosikan karya saya melalui tulisan, membuat blog, mengunggah status di social media dan berinteraksi langsung dengan teman-teman melalui komentar-komentar. Setidaknya muka saya tetap tidak muncul secara langsung dan saya masih memiliki ruang untuk berpikir sebelum bereaksi.
- Mengikuti Selera Pasar.
Sebenarnya tidak hanya di era digital penulis mengikuti selera pasar, tetapi pada masa lalu penulis masih memiliki banyak ruang untuk bergerak mengikuti seleranya sendiri. Bahkan dari selera asli para penulis di masa lalu itu muncul trend-trend baru. Saat ini apa yang diinginkan pasar akan diburu mati-matian sehingga kebanyakan orang bergerak ke arah sana untuk menjadi yang diburu. Ini juga masalah buat saya karena saya paling tidak suka selera kebanyakan. Kalau semua orang sudah membuat satu resep biasanya saya melihatnya saja sudah kenyang dan ingin membuat hal lain. Tetapi kenyataannya sesuatu yang melawan selera pasar memang agak susah dijual. Masalah ini saya hadapi dengan mempelajari selera pasar dan mengaplikasikan apa yang saya sukai ke dalamnya. Mungkin masih bergerak ke arah pasar sedikit, tetapi elemen-elemennya masih sesuatu yang saya sukai. Misalnya cerita remaja tetapi dengan muatan masalah yang lebih berat bukan hanya percintaan.
- Melawan Instant
Era digital menyuguhkan segala sesuatu yang berbau instant. Menulis di platform digital sangat berbeda dengan menulis pada masa lalu. Menulis di platform digital kita bisa mencicil novel yang kita tulis lalu menguploadnya untuk dibaca banyak orang. Kelebihannya, penulis jadi tertantang untuk cepat menyelesaikan tulisan itu. Sementara kekurangannya penulis tidak memiliki banyak waktu untuk mengendapkan karyanya dan merenungkan karyanya sebelum benar-benar diunggah. Saya menyiasati ini dengan gaya lama yaitu menulis sampai selesai, melakukan pengendapan dan menguploadnya setelah benar-benar siap. Proses ini akan melawan hal-hal instant yang disuguhkan era digital.
- Media Yang Rumit & Generasi Yang Beda
Untuk penulis jadul seperti saya media digital kadang-kadang menyulitkan. Saya perlu menyesuaikan diri beberapa lama untuk mempelajari menu-menu yang ada disana. Entah menu upload, menu hapus, dan banyak lagi. Tentu tidak mudah bagi mereka yang gaptek untuk memasuki era ini karena jangankan terlibat didalamnya, masuk ke platformnya saja seringkali tidak paham. Tak hanya itu generasi pengguna platform ini jelas generasi baru yang sangat berbeda. Selera mereka seringkali membuat saya menghela napas karena saya tidak memahaminya. Tetapi saya mencoba untuk menyesuikan diri dengan generasi ini, tetapi menulis hal-hal yang saya sukai dan sesekali membumbuhi dengan hal-hal yang terjadi pada generasi mereka. Untuk platform kebetulan saya suka ngoprek jadi meski membutuhkan waktu untuk memasukinya masih tidak terlalu bermasalah.
- Royalti Sesuai Viewers
Sebenarnya ini mirip dengan royalty yang sesuai dengan jumlah buku yang terjual. Hanya saja karena sesuai viewers maka selera pasar akan sangat mengendalikan penghasilan seorang penulis di era digital. Karya-karya dengan viewers banyak sudah pasti memiliki penghasilan lebih meskipun mungkin karya itu biasa-biasa saja. Sementara karya-karya yang sepi viewers tentu penghasilannya sedikit. Namun pada masa lalu, penulis buku masih mendapatkan DP dari bukunya dengan jumlah yang lumayan, apapun isi bukunya. Sementara pada masa digital semua hal diserahkan pada selera pasar. Untuk masalah yang satu ini, ya.. bagaimana ya? Karena saya tidak mau menyerah begitu saja mengikuti selera pasar secara mentah-mentah, maka saya berusaha rajin mengiklankan link karya saya di platform digital ke social media.
Yeah, era digital bagi penulis jadul benar-benar melelahkan. Tetapi jangan menyerah wahai penulis jadul, mau tidak mau zaman memang pasti berubah dan kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri kecuali cepat mati tergilas. Tetap semangat berkarya untuk saya sendiri khususnya dan teman-teman penulis jadul yang masih berjuang menyesuaikan diri. Semangat!
Salam dari kolega penulis segenerasi 😍