1320 views 20 mins 1 comments

Beijing : Cahaya Diantara Warna Merah

“Focus on the journey not the destination.”

 

Tiananmen square

Matahari  baru menggeliat bangun saat aku menaiki eskalator stasiun Qianmen. Sinarnya hangat menerpa tubuhku yang semalam kedinginan menginap di bangku-bangku tidak nyaman bandara Beijing. Warga lokal berjalan tergesa-gesa memasuki stasiun, hendak berangkat beraktivitas. Sebagian wisatawan menyeret kopernya tertatih-tatih dengan wajah yang letih. 

Pendestrian Tiananmen saat malam

Penginapanku di kawasan backpacker tidak jauh dari stasiun Qianmen.  Lokasinya sangat strategis karena berdekatan dengan stasiun dan Tiananmen Square. Area Qianmen membuatku langsung jatuh cinta. Bangunan-bangunan tradisional Tiongkok masih berdiri kokoh dijadikan hostel, toko souvenir, restoran-restoran dan juga tempat tinggal. Motor listrik berseliweran tetapi tidak membuat gaduh kecuali sedang mengklakson. Aku seolah sedang berada di lokasi film-film kungfu China yang aku tonton. Tempat menginapku pun bangunannya tradisional dan unik.

“Kita istirahat saja dulu beberapa jam sebelum menjelajah sekitaran Qianmen,” kata temanku.

 
Aku menyetujuinya. Tujuh jam perjalanan Jakarta-Beijing sangat meletihkan karena kami bermalam di bandara yang dingin. Sebelum menikmati jalanan kota Beijing, aku merebahkan tubuhku di pembaringan hostel. Tak sampai sepuluh menit aku terlelap.

***

Penjaga Tiananmen square

“Here we are! Tiananmen square!” teriak temanku girang.

Tiananmen square adalah alun-alun besar dengan lebar sekitar 500 meter dan panjang 880 meter yang merupakan pusat kota Beijing yang sangat terkenal. Ada empat pintu masuk utama Tiananmen square yaitu melalui utara, selatan, barat dan timur.  Alun-alun ini terbuka hingga tengah malam dengan pemeriksaan keamanan di setiap pintu masuk bagi pengunjung.

“Ri, minggir Ri, ada barisan mau lewat!” temanku mendorongku menepi.

Tampak sekelompok tentara berbaris melintasi alun-alun, sementara sebagian tentara yang lain berjaga di setiap sudut alun-alun. Ada beberapa tempat bersejarah yang bisa kita lihat di sini seperti Museum Nasional China, Makam Mao Zedong, Balai Agung Rakyat dan Monumen Pahlawan Rakyat. Pada pagi dan sore hari juga ada upacara pengibaran dan penurunan bendera. Tak hanya tempat bersejarah, di alun-alun ini juga ada penjual makanan dan minuman. Kami membeli minuman sebelum menyeberang jalan bawah tanah menuju Forbidden City.

“Jangan terlalu banyak minum,” cegah temanku ketika aku membuka botol minuman.

 
Bagi sebagian orang yang biasa tinggal di tempat bertoilet bersih, maka menggunakan toilet-toilet umum di Beijing sebaiknya dihindari. Lebih baik menggunakan toilet di hotel sebelum berangkat dan setelah pulang dari jalan-jalan. Karena akan membuat sedikit trauma dengan kondisinya yang jorok bahkan sebagian orang tidak menutup pintu toilet saat buang air.

“Sssttt! Lihat tuh kebanyakan anak kecil celananya bolong,” celetuk temanku lagi.

 
Dan begitu aku menoleh, tampak ibu dari anak itu membiarkan anaknya buang air di mana saja tanpa menggunakan air untuk membersihkannya. Dengan kondisi toilet yang horor ini, membuat aku dan teman-teman mengurangi jatah minum sehingga hampir dehidrasi.  

Forbidden City

Forbidden city atau Kota Terlarang merupakan komplek istana seluas 720.000 m2, yang dibangun sejak 1406 hingga tahun 1420.  Ada sekitar 800 bangunan dan 8000 ruangan. Warna merah, emas dan ukiran khas China mendominasi bangunan yang berdiri megah dan kokoh itu. Pada masa pemerintahan dua dinasti terakhir di China yaitu Dinasti Ming hingga Qing, sekitar 500 tahun, komplek istana ini tertutup untuk umum sehingga di sebut Kota Terlarang. Pada tahun 1987, Unesco menetapkan komplek ini sebagai situs warisan dunia. Meskipun tidak lagi ditempati kaum bangsawan, tetapi tempat ini terjaga dengan baik dan menjadi tujuan wisata yang sangat populer di Beijing. Untuk mengelilinginya diperlukan waktu tiga jam dari pintu masuk gerbang selatan di dekat Tiananmen square dan pintu keluar bagian utara. Aku memutuskan tidak berjalan sampai ujung karena kaki sudah mulai kram belum sempat istirahat panjang sejak perjalanan dari Jakarta. Belum lagi dehidrasi yang mulai mengintai tubuhku. 

Wangfujing street

Hari menjelang malam ketika aku menyusuri Wangfujing street mencari makanan halal tetapi malah tersesat masuk pasar dan membeli makanan halal yang sangat mahal. Setelah menyesal kehilangan banyak Yuan untuk seporsi makanan yang sangat tidak enak, kami kembali ke hostel melewati Qianmen street yang semarak. Pendestrian ini sangat menyenangkan untuk berjalan-jalan. Pertokoan, kafe-kafe bahkan pasar yang berjualan souvenir bisa kami temukan di salah satu gangnya. Kakiku mulai kram lagi dan aku memutuskan kembali ke hostel untuk istirahat.

***

Pagi baru saja dimulai saat kami tiba di stasiun subway Dongzhimen. Orang-orang lokal Tiongkok berjalan tergesa mengejar subway menuju tempat kerja, mengantri panjang di depan  pintu kereta dan berebut lebih dulu menaiki eskalator. Kami memilih exit B kemudian mencari terminal bus Dongzhimen yang terletak sekitar 100 meter dari pintu keluar subway.


Menurut informasi, ada beberapa bus yang bisa membawa kami ke  The Great Wall gerbang Mutianyu antara lain bus nomor 980, 915, 915 express, 916 dan 916 express. Seorang wanita petugas terminal berseragam biru dengan bahasa Inggris yang lumayan lancar menyarankan kami naik bus nomor 916 express yang melewati jalan tol sehingga lebih cepat dan turun di halte wilayah Huairou.  Karena tidak memiliki Beijing Transportation Card kami dikenakan biaya CNY 15, sedangkan pemegang kartu dikenakan biaya CNY 12 untuk perjalanan bus dari terminal Dongzhimen hingga wilayah Huairou. 

Bersama warga lokal Tiongkok yang sedang menjalankan aktivitas hariannya dan bercengkerama ramai di bus dengan teman-temannya, kami menikmati perjalanan menuju distrik Huairou, sekitar 70 kilometer dari kota Beijing tempat gerbang Mutianyu, The Great Wall berada. 

The great wall

 
The Great Wall atau Tembok Besar Tiongkok merupakan sejarah penting bagi negeri Tiongkok. Tembok yang dibangun ratusan tahun silam pada masa Dinasti Ming ini memiliki panjang sekitar 8851 kilometer dan pada tahun 1987 bangunan ini masuk sebagai salah satu situs warisan dunia Unesco. Ada empat gerbang untuk memasuki Tembok Besar Tiongkok yaitu melalui gerbang Badaling, Mutianyu, Jinshaling dan Simatai.  Gerbang Badaling merupakan gerbang yang paling populer dikunjungi turis karena jaraknya paling dekat dari kota Beijing, memiliki tanjakan yang relatif mudah dilewati dan mudah dijangkau dengan transportasi umum. Gerbang Badaling telah banyak direstorasi dan selalu ramai pengunjung. Sementara gerbang Jinshaling dan Simatai merupakan gerbang yang letaknya paling jauh dari kota Beijing dan memiliki tanjakan yang sulit dilalui. Gerbang Jinshaling dan Simatai lebih cocok untuk mereka yang memiliki stamina kuat dan penggemar hiking. 

Here we are! My dream come true!

Setelah mempertimbangkan berbagai hal, kami kemudian memilih memasuki Tembok Besar Tiongkok melalui gerbang Mutianyu. Selain tidak terlalu ramai pengunjung, gerbang Mutianyu lebih otentik dan bisa dijangkau menggunakan transportasi umum. 

Hampir jam 10 pagi saat penumpang lokal yang duduk di sebalah temanku  dengan menggunakan bahasa isyarat menyarankan agar kami turun di salah satu halte Huairao. Dari halte tersebut kami masih harus menyewa mobil untuk sampai gerbang Mutianyu. Tetapi begitu kami turun dari bis, kami dikerubungi empat sopir taksi yang gayanya setengah memaksa kami untuk naik taksinya. Temanku mencoba bertanya dengan bahasa Inggris tapi tak satupun mereka paham bahasa Inggris. Mendadak kami takut karena salah satu dari mereka kasar dan memaksa.

“Kita cari minimarket dulu aja yuk,” kata temanku menarik lenganku.

 
Aku berjalan menghindar dari empat sopir taksi itu, tetapi mereka malah mengikuti kami. Kami jadi bingung dan ketakutan. Tiba-tiba ada seorang cewek lokal yang cantik dan memerhatikan kami. Ia hendak naik ke boncengan motor yang dikendarai wanita paruh baya sepertinya ibunya.

“May i help you?” tanyanya dengan bahasa Inggris yang fasih dan jelas di dengarkan.

Yesss!!! Dunia seketika menjadi terang mendengar cewek cantik itu bisa berbahasa Inggris. Kami segera mengemukakan masalah kami. Cewek itu menjelaskan bahwa untuk sampai gerbang Mutianyu memang harus menyewa mobil mereka. Dan ia menawar harga pulang pergi ke sopir-sopir taksi itu dengan harga terendah yang ia ketahui sebagai orang lokal. Salah satu sopir yang umurnya paling tua dan wajahnya baik bersedia mengantar kami. Aku dan temanku mengucapkan terima kasih tak terhingga pada cewek cantik yang sudah menolong kami itu. Sayang sekali, aku tidak menanyakan siapa namanya dan bertukar kontak.
Gerbang Mutianyu
 

Satu jam kemudian, kami sudah sampai di gerbang Mutianyu. Suasana tidak terlalu ramai dan udara sangat sejuk. Kami membeli tiket cable car untuk naik ke tembok besar dan turunnya menggunakan kereta luncur atau toboggan dengan biaya CNY 100. Tetapi begitu antri cable car aku mulai merasa takut. Bagaimana tidak? Cable car yang aku pilih ternyata tanpa dinding kaca sama sekali. Begitu giliran kita masuk cable car, kita harus berdiri di tempat dan terdorong dengan keras masuk ke dalam cable car. Petugas kemudian mengunci kami dan cable car berjalan ke atas tanpa sekat apapun.

“Bagaimana kalau tiba-tiba ada angin kencang nabrak kita?” tanya temanku sambil tertawa saat cable car mencapai puncak tertinggi.
Cable car terbuka

Ia tahu aku sangat ketakutan. Sebagai penderita phobia ketinggian dan claustrophobia, aku ingin mengurangi ketakutanku pada ketinggian setiap kali traveling dengan mencoba hal-hal yang menantang. Tetapi keringat dingin mengaliri pelipisku. Temanku mengalihkan ketakutanku dengan mengajak melihat pemandangan di kejauhan.  Dari ketinggian, tembok besar itu terlihat meliuk-liuk bagaikan ular naga yang sedang tidur. 

Begitu aku mulai menikmati naik cable car ternyata sudah harus turun. Petugas di bawah meneriaki kami agar kami melompat karena lintasannya sangat cepat dan susul menyusul. Begitu pintu terbuka kami melompat keluar. Dan hufff! Aku oleng hampir jatuh. Untung temanku memegangi tanganku. 

Kami segera mencari pintu masuk tembok besar dan mulai mendaki. Benar seperti yang pernah aku baca, tembok besar China gerbang Mutianyu terlihat lebih otentik. Tidak banyak pengunjung sehingga lebih tenang dan tidak  berdesakan saat mendakinya.  Masih banyak pepohonan sehingga tembok raksasa ini seolah meliuk-liuk di tengah hutan.  

The great wall

 
Tembok besar gerbang Mutianyu menggunakan batu granit dengan tinggi 8 meter dan lebar 5 meter. Terdapat menara suar yang pada masanya digunakan untuk menyampaikan pesan militer dengan cara membuat sinyal asap di siang hari dan api pada malam hari. Tembok besar menjadi salah satu bagian penting dari sejarah arsitek China yaitu untuk membatasi wilayah perkotaan dan perumahan, batas kepemilikan lahan, penanda perbatasan dan jalur komunikasi untuk menyampaikan pesan.

“Bagaimana kalau kita istirahat satu jam di sini?” ajakku pada teman-teman.

 

Mereka menyetujuinya, lagipula kami menyewa mobil selama empat jam pulang pergi. Kami segera mencari tempat duduk yang nyaman, lalu membuka bekal makanan dari hostel yang aslinya makanan dari Jakarta. Puding jelly, roti dan beberapa botol minuman. 

Turun dari tembok besar kami sudah membeli tiket tobbogan atau kereta luncur. Hanya di gerbang Mutianyu yang dilengkapi kereta luncur untuk kembali ke pintu masuk. Awalnya aku membayangkan kami akan naik kereta luncur bersamaan dan kenyataannya naik sendiri-sendiri. Tanganku langsung berkeringat dingin. Aku ingin berbalik dan membeli cable car saja, tetapi haruskah aku membuang-buang uang? Aku menyeka keringat dingin dan mulai antri di dekat papan luncur. 

Kereta luncur tobbogan sejenis kereta beroda untuk diduduki dan dilengkapi dengan rem. Kereta dapat meluncur sampai 60 km/jam menempuh jarak sejauh 1.6 km diatas lintasan stainless steal. Begitu naik ke atas kereta luncur aku berusaha menyesuikan diri meskipun masih ketakutan. Naik motor saja aku tidak bisa bagaimana naik kereta luncur di atas ketinggian ini?  

Penjual di kawasan the great wall

 Dan benar saja! Sepertinya aku membuat orang-orang di belakangku kesal karena aku bergerak lambat. Aku berusaha menikmati perjalanan menerabas hutan menggunakan kereta luncurku meskipun tanganku berkeringat dingin dan tubuhku gemetar. Orang-orang di belakangku tidak bisa ngebut dan memanjakan adrenalin mereka. Aku tidak peduli meskipun mereka marah, lebih baik aku pelan daripada jatuh ke bawah. Sampai di bawah tanganku dingin dan aku menangis. Ini sangat menyenangkan sayangnya aku ketakutan.

“Lunch! Lunch! Cheap! Cheap!” kata bapak sopir yang mencegat kami di depan restoran. 
Kami menggeleng. Sebenarnya lapar, tetapi tidak yakin makan ditempat yang tidak halal dan sama sekali tidak tahu jenis makanannya karena semua menu berbahasa China. Kami kemudian kembali ke tempat parkir.
“Take a picture, please?” temanku ingin foto bersama di parkiran dengan background lintasan tobbogan di kejauhan.

Bapak sopir segera beraksi mengambil foto kami. Tetapi begitu berada di mobil dan kami memeriksa hasil fotonya, semua foto adalah kaki kami! Ok, good pictures!

***

Belum terlalu sore ketika kami tiba kembali di terminal bus Dhongzhimen. Hampir seharian tidak makan kami memutuskan untuk langsung ke masjid Niujie. Menurut informasi, di sekitar masjid Niujie banyak makanan halal. Tetapi  dari terminal bus Dhongzhimen kami tidak menemukan nomor bus ke distrik Xuanwu. Kami harus naik subway kemudian menggantinya dengan bus kota. Baiklah, karena sudah sangat lapar kami buru-buru masuk ke dalam stasiun subway dan mencari line menuju distrik Xuanwu.Tiga puluh menit kemudian setelah naik subway dan berganti bus kami sampai di distrik Xuanwu. Sepanjang jalan sekitar masjid tampak pertokoan dan restoran halal. Kami memilih salah satu restoran yang ada di paling ujung. Awalnya kebingungan mencari tempat masuknya, tetapi pelayan restoran menunjukkan kami pintu masuk. Di dalam restoran tampak luas dan nyaman. Kami memilih tempat di pojok agar bisa mengamati lalu lalang orang yang masuk ke dalam restoran. 

Pelayan tidak bisa bahasa Inggris, sehingga kami hanya menunjuk menu yang kami inginkan. Nasi, sate domba, kuah sup dan teh hangat. Pengunjung restoran kebanyakan warga lokal. Aku melihat gadis mengenakan jilbab sedang makan di salah satu meja dan tersenyum kepadaku. Aku membalas senyumnya seraya mengangguk. 

Tak lama makanan datang dan kami menyantapnya dengan lahap. Ternyata makanan yang kami pesan kurang untuk berempat. Aku masih kelaparan, tetapi mau pesan lagi kuatir keburu sore ke masjid. Berharap pulang dari masjid bisa makan lagi di tempat ini.

Dari restoran tempat kami makan, masjid Niujie ada di seberang jalan. Kami menyeberang dan menyusuri sepanjang jalan Niujie. Tampak sebuah masjid berarsitektur campuran China dan Arab yang berdiri megah di depan kami. Begitu memasuki gerbang seorang lelaki tua beruban dengan wajah ramah menyapa kami.

“Assalamu’alaikum. Are you from Malaysia?” tanyanya.

“Wa’alaikumsalam. I am from Indonesia,” jawabku.

Wajahnya tampak sumringah. “Oh, Indonesi… come…come…” lelaki tua berambut putih itu mengantarkan kami ke pintu masuk.

 
Sebenarnya masjid sudah tutup bagi wisatawan, tetapi karena kami muslim dan datang dari jauh kami diperbolehkan masuk. Masjid Niujie juga bisa dikunjungi non muslim tetapi harus menggunakan pakaian sopan dan tidak diperkenankan masuk ke tempat ibadah. Aku dan teman-teman masuk lewat samping dan mulai berkeliling. 

Masjid Niujie

  
Masjid Niujie merupakan masjid tertua di Beijing yang dibangun pada 996 pada masa Dinasti Liao (916-1125). Masjid ini menjadi titik awal masuknya Islam di dataran Tiongkok. Populasi muslim terbesar Beijing tinggal di sekitar masjid membentang dari utara ke selatan.

“Tempat sholat perempuan di sebelah sana,” kata temanku menunjuk papan petunjuk.
Tempat sholat perempuan Masjid Niujie

Aku melihat-lihat berkeliling lebih dulu. Beberapa jamaah dan pengunjung tampak duduk di halaman masjid. Sebagian ngobrol, sebagian lagi melamun. Aku jadi ingin duduk melamun memandangi masjid yang unik dan indah ini. Maka aku pun mengambil tempat duduk di halaman berdekatan dengan jama’ah wanita yang sudah tua. Beliau tersenyum melihat aku menghampirinya. Sayang kami tidak bisa saling menyapa karena keterbatasan bahasa. 

Bagian areal dalam masjid

 
Luas kompleks masjid mencakup 6000 meter persegi terdiri dari ruang sholat utama, tempat wudhu, menara dengan paviliun, ruang sholat perempuan dan juga ruang pameran. Karena kami sejak siang belum menunaikan sholat, maka kami segera ke tempat sholat perempuan. Tetapi pintu tempat sholat perempuan terkunci dan tidak ada seorangpun yang bisa kami tanyai. Mungkin karena sebentar lagi malam. Setelah puas berkeliling, kami segera keluar halaman masjid. 

Pintu menara masjid dan saya

 Dari jalan Niujie masjid tua itu berdiri megah. Sudah melewati banyak perjalanan hidup yang berat dan ia masih berdiri kokoh di sana. Warna merah menghiasi setiap sudut Tiongkok. Dan aku melihat cahaya terpancar dari masjid tua Niujie. Menerangi langkahku untuk terus melanjutkan perjalanan.

***

(artikel ini ada dalam buku saya “Keliling Asia Memburu Cahaya” terbitan Grasindo, masih beredar di seluruh toko buku Indonesia)
Avatar
Writer / Published posts: 109

Writer, Traveller and Dreamer

Twitter
Facebook
Youtube
Flickr
Instagram
One comment on “Beijing : Cahaya Diantara Warna Merah

Comments are closed.